Desentralisasi merupakan sebuah konsep
yang mengisyaratkan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah di tingkat bawah untuk mengurus wilayahnya sendiri. Tujuan desentralisasi
agar pemerintah dapat lebih meningkatkan efisiensi serta efektifitas
fungsi-fungsi pelayanannya kepada seluruh lapisan masyarakat. Namun seketika, salah
satu produk pembuktiannya desentralisasi (Otonomi) dicederai oleh kelemahan
Kemendesa melalui orang-orang yang diwakilkan-nya sebagai penanggungjawab untuk
mengawal proses perekrutan Pendamping Desa. Bagaimana tidak, tim penguji tes Pendamping
Desa seolah-olah kabut-bayang, atau gemuruh angin dibalik bukit hampa. Sebuah
entitas makhluk bertopeng manusia. Mudah diintervensi oleh kepentingan, baik
itu Partai, pejabat, penguasa, dan orang-orang yang berkepentingan lainnya.
Apakah memang sengaja diciptakan, atau
memang keberhasilkan wajah desentralisasi yang memang harus tunduk dari dan
oleh pemikiran lokalitas orang-orang yang tidak ingin membangun masa depan. Hal
ini menjadi fenomena yang sulit diprediksi sebagai tindakan orang-orang yang
berpikiran waras. Sebab desentralisasi adalah sebuah bangunan vertikal dari
bentuk kekuasaan negara, yang memang diramu dari berbagai sisi pemikiran untuk
kehidupan yang lebih layak bagi semua kalangan. Pertanyaannya kemudian, apakah
kehadiran Otonomi Desa beserta segala implikasinya menjamin terwujudnya
demokratisasi bagi masyarakat desa menuju kepada sebuah kondisi yang dapat
menunjang lahirnya kemampuan masyarakat untuk dapat mendorong segala proses
demokrasi di wilayahnya sedapat mungkin dengan kemampuannya sendiri, dan dalam
sebuah skema kebijakan Otonomi?.
Untuk hari ini, jawabannya adalah TIDAK!. Proses
perekrutan Pendamping Desa yang terjadi pada waktu lalu, baik untuk Lokal Desa
maupun Kecamatan menjadi antitesis atas tujuan desentralisasi atau otonomi yang
dimaksud. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana kawan-kawan muda yang berjuang
untuk mengikuti segala proses dan prosedural perekrutan Pendamping Desa secara
demokrtais, tiba-tiba dibodohi bahkan dikhianati oleh tindakan beberapa penafsir
jahiliyah yang secara sembunyi-sembunyi merekomendasikan kawan-kawan muda lain
yang memang tidak lulus administrasi, bahkan ikut pendaftaran saja tidak. Semakin
Maha-tidak masuk akal ketika nama-nama tak berwajah tersebut lulus menjadi Pendamping
Desa (Kecamatan) dan Pendamping Lokal Desa.
Dan sekonyong-konyong, salah satu tokoh,
entah menjadi tokoh apa, sudah menjadi tidak penting untuk mencari tahu latar
belakang sosok dari oknum tersebut. Berdiri dan berkacak pinggang, sembari
berkata, “Kalian tau apa!, aku adalah Dewan/pejabat/penguasa, atau aku adalah orang
besar/kaya/terpandang, dan/atau lebih senior dari kalian yang baru kemarin
sore”, kira-kira dan kurang lebih muatan perkataannya seperti itu. Jika
dibayangkan seperti Dewa Yupiter pada masa mitologi Romawi Kuno. Disinyalir,
tokoh tanpa pengikut tersebut adalah oknum Anggota DPRD Kab. Bima dari salah satu Fraksi Partai Politik.
Bagi saya, bagi anak-anak muda, hal ini cukup
memalukan, menggelikan sekaligus memprihatinkan, bagaimana mungkin orang-orang besar
yang dipercaya sebagai orang dengan pemikiran yang baik, lalu berbalik menjadi
munafik di hadapan proses dan perjuangan negara dan masyarakat untuk membangun demokrasi.
Kepentingan mampu merubah sifat dan perilaku seseorang menjadi apa saja, meski
semula berwarna hitam-putih, kuning-biru, merah atau abu-abu. Namun lagi-lagi,
warna yang tampak berwarna-warni tersebut, akan menjadi budak dihadapan
kepentingan yang tidak berdiri di atas kemaslahatan masyarakat.
Ahir dari tulisan ini, bahwa memang manusia
pada umumnya dinilai dari apa yang dilakukannya, bukan dari apa yang
dipikirkan, ataupun yang dirasakannya. Kesimpulan sederhana untuk kawan-kawan
muda yang dijadikan basis masa dan kepentingan politik hari ini, adalah
anak-anak muda yang tidak mampu untuk bersaing atau dihadapkan pada realitas
yang memang membutuhkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan akuntabilitas individu
sesuai dengan perkembangan zaman. Dan orang-orang besar yang dilingkari segelintir
pemuda berwajah samar tersebut, menjadi penyakit sosial yang tidak bisa dibiarkan,
kebiasaan ini akan menjadi budaya makro yang dianggap baik dan benar, sekaligus
akan dipersepsi sama oleh masyarakat sebagai jalan pemberdayaan, jika dibiarkan.
Maka pantas, jika kita menolak segala prilaku culas yang terlalu menafikan
kemampuan manusia lain.
Sebab itu, saya berani bertaruh, antara
kawan-kawan muda yang memang mengikuti prosedural dengan kawan-kawan yang
ujug-ujug direkomendasikan oleh salah satu oknum anggota fraksi PKB tersebut, dikumpulkan
lalu kemudian dilakukan uji kopetensi, baik pengetahuan maupun pemahaman
tentang desa dan pemberdayaan masyarakat. Maka jawabannya, sudah kita ketahui
sebelum dilakukannya ujian. Jika fenomena ini menyakitkan bagi sebagian
generasi muda, marilah kita mulai berkaca diri, sebab keesokan hari masih ada
kesempatan lain. Sejarah telah usai di masa lalu, dan tak dapat berperan lagi
untuk masa depan, maka bagi orang-orang atau oknum yang memiliki kepentingan,
mulailah berbenah, sebab esok tak ada lagi kesempatan, baik untuk kalian atau
bagi anak-cucu kalian, sebab masa depan tak menghendaki adanya orang-orang biadab,
meskipun kalian dapat hidup di dalamnya. Terima Kasih.
*pernah dimuat di media STABILITAS dan KAHABANews pada 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar