Minggu, 23 Januari 2011

GERSANG, RESAH “NCAI KAPENTA” (Untuk Hutan-hutan di Belahan Bima). sebuah cerpen

Dahulu hijau daunmu membentur cakrawala purnama.
Dahulu langit mendesah rindu memeluk cahaya kulit tubuhmu.
Dahulu bumi memeluk erat akarmu yang dalam mencekram magma.



“Gersang...!.”
“...”

Cahaya telah malas memeluk rinduku di kala senja yang tercipta. Aku, biasanya riang menari ketika angin mengajakku bernyanyi. Aku, biasanya merengkuh damai ketika bumi mulai memelas lemah. Aku, biasanya bercanda-tawa ketika masyarakat desa berbahagia menyambut pagi dan petang dibawah bayang daun-daun yang ayu. Aku pun selalu bersyukur dan memeluk mereka dengan mesra, penuh irama yang tertata suci dari Sang Semesta.

Kini...
Aku adalah hutan dan lembah belantara yang terluka. Padahal aku adalah benih yang telah tumbuh seribu tahun sebelum peradaban mengenal wicara. Dahulu aku tercipta diantara kebinggungan manusia mendefinisikan kebaikan dan keburukan. Tapi kini aku adalah kemakmuran yang dicari dengan darah dan air mata. Aku adalah taman bagi impian bayi-bayi semesta yang baru lahir. Akulah air kehidupan dari rahim bumi yang dirajam tanpa kenal tata krama. Dahulu mungkin aku adalah hikayat yang dibanggakan kerajaan, dan juga kehormatan bagi para petapa penjaga nikmat.

O, Dana Mbojo, tanah yang mencipta berbagai Fi'tua.
Aku telah teraniya panas tangan-tangan membara bencana.
O, Dana Mbojo, tanah kering keronta di atas permukaan.
Karena keserakahan, hingga mereka tak menemukan manik-manik dibalik rahim Dantraha.
Biarlah aku pucat pasi, karena semua tampak benar dalam kesesatan akal yang mengada-ada.

Gelap angkara nestapa
Nista tanahmu di gerbang para raja.
Manusia di laknat karena kesalahan, wahai gersang!.
Resah aku dan kau memelas, memeras kehidupan.

Aku tersentak bangun!.
Aku bermimpi tentang sumpah serapah. Cucuran keringat membasahi sekujur tubuh. Aku merasa terdakwah di lembah-lembah para gembala. Seakan aku tengah berada di bukit nista para Ncuhi. Jarum jam menunjukan pukul 02.30. Sebentar lagi subuh bergema mencairkan ilham beku untuk para pekerja yang tertidur di atas benhur. Aku dengar gelombang laut pelan merangkak bersama fajar yang terbalut resah di Pulau Kambing. Desau angin merelakan diri menembus celah-celah Istana. Sebentar lagi Masjid-masjid akan mengalunkan ayat-ayat hingga ke Ars'y. Huruf-huruf itu terangkat memapah alam dan jiwa yang tenggelam di kedalaman hikayat Jara Manggila.

Aku rebahkan lagi lelahku sejenak.
Tiba-tiba gerbang Bumi membuka diri, lalu semburatkan bisikan yang memaki.
"Lihatlah retak kulitku memecahkan prasangka hamba-hambaNya, seakan Dia tidak lagi peduli untuk memenuhi kebutuhan seluruh makhluk."

"Jangan menghakimi, semua telah terukir sebelum Iblis terusir. Bahwa terjadinya kerusakan di muka bumi maupun langit diakibatkan oleh tangan-tangan jahil dan nafsu manusia.”

Aku gemetar merendahkan wajah, aliran darahku seakan berhenti mensusidi nutrisi bagi hatiku, nafasku tersenggal menata sesuap udara bagi nafasku. Jiwa ragaku bergema mengenggam magma. Dahan kehidupanku meracau tanpa arah bersandar. Merah saga nestapa di ufuk barat. Mata batinku terbuka ketika bait Allahuakbar mengalun memantulkan nada hingga ke pucuk. Air suci mengalir hingga ke relung. Serasa seluruh satwa ingin mengajak aku terbang mengelilingi kearifan semesta berabad-abad.

Matahari sedikit lagi akan membelah gelap.
Aku tak lagi dapat memejamkan mata walau sejenak lepaskan penat, perasaanku terlalu panik memikirkan takwil mimpi yang hadir dalam pembaringanku. O, kehormatan leluhurku yang terkoyak di kota kecil berbukit duri. Aku teringat cerita kakekku, bahwa dulu hutan dan pohon-pohon ibarat barang langka yang super berharga dan selalu di jaga oleh penjaga kerajaan. Kini, hutan dan pohon itu hanya hikayat yang tersimpan dengan kotak berkaca transparan di ruang utama. Aku malu pada leluhurku. Bagaikan labirin di lorong gelap aku memikirkan akar keturunannku yang telah berwujud gundul.

Pagi tiba.
Bening embun jatuh terbuai mentari.
Langit cerah bergelimang cahaya.

Akulah gersang itu!
Cucu leluhur yang terbunuh tanpa ampun.
Untung! Pamanku yang bernama resah melenyapkan akarku kala itu.

Diam melangkah gersang.
Kering-keronta membelah berharap gerimis. Sepi melintasi bukit semesta memelas awan. Dantraha tenggelamkan diri pada terik. Pulau Kambing mengecil tanpa gelombang yang merias pasir pantainya. Matahari naik sepenggalan ketika aku bergerak menemui pamanku. Aku hendak mengadukan perihal mimpiku. Mungkin semalam roh moyangku hendak bertamu. Tapi kenapa mereka masuk dengan merasuki diriku dengan sumpah serapah.

Wajah-wajah gelap. Bahasa-bahasa pekat. Tubuh-tubuh lelah dengan harapan yang melemah. Semua yang ada membuat aku takut melewati jalan setapak yang terjal. Ah, malang bagi kau wahai semesta, jalanmu ada di jurang-jurang menuju kehancuran. Kini kau benar-benar tiada berdaya di atas tangan-tangan mereka yang lengah mengejar alur dunia yang anggun.

Pelan jejakku berjalan. Sejujurnya, aku sedang malas untuk ke mana-mana. Tapi ihwal mimpi semalam memaksa aku beranjak ke plataran pamanku. Sepanjang jalan, aku tak ingin menyaksikan kesakitan Bumi. Lagi-lagi bumi mengajakku untuk menangis. Apalah arti tangisanku dibandingkan air mata semesta yang lebih deras mengalir setiap hari. Mungkin bumi sedang menginginkan aku untuk bersedih.

Apa ada hubungannya...?
“Gersang...!” Aku menoleh. Panggilan itu menghancurkan pencarianku.

“...”

Tiada wajah yang terlukis. Hanya panas yang menampar wajah kusutku. Sementara batu-batu di sekitarku menghitam karena terbakar panas yang sangat. Dan pohon-pohon disekelilingku tumbuh menjaga diri dengan sehelai daun kecil yang rapuh.

Tak mungkin daun sekecil itu mampu memayungi bumi dan batu-batu.
“Gersang...!” Oh, rupanya pamanku yang resah.
“Kemana...?”
“Ke rumah, paman!"
"Ada apa?"
" Aku ingin bertanya, kalau tidak dikatakan mengadu tentang nasib semesta yang campur aduk.”
“...”

Pamanku yang resah menyeka misteri di pipinya. Wajah lesunya, jelas tergurat sesuatu yang layu. Aku memaki dalam hati. Kenapa kau tak mengikutkan diri dalam pemberontakan waktu itu, agar kau mati terpotong menjadi kayu bakar, atau menjadi kayu taman lestari di halaman istana sang raja, atau menjadi kanvas yang mahal bagi seni lukis. Setitik keringat masih tertinggal di kening retaknya. Aku senang melihat sisa air kehidupan itu tertinggal, aku berharap ia dapat merasakanya, lalu menghisapnya untuk melanjutkan kehidupan yang sedia kala akan uzur. Bagiku, setitik air itu bagaikan mantra di tangan Mesiah.

“Kau tak perlu mengadu tentang duka, wahai gersang!.”
“Aku melihat luka! Luka yang perlu kau rasakan, hingga paman tak mau lagi melahirkan benih.”
"Tak perlu! Aku telah melihat sukma di rusak-musnah tanpa mata."
"Bagaimana...?
"Jangan...!"
"Kenapa...?
"Kau tak kan mau dilahirkan kembali, jika tau."

"..."

“Jangan buat dirimu terbujur kaku, karena aku sudah lebih dahulu larut dalam hidangan kedukaan semesta yang kau maksud, gersang!.”

Mata pamanku terbelalak membelai sukma.

“Kita hanya iring-iringan sampah yang tersisa dari cerita yang dibanggakan oleh kerajaan ini. Kita tak seperti sedia kala. Semua berbeda. Berubah. Menjauh. Asing. Aneh. Tergusur dan Terbuang. Kita tak mampu lagi mengudang berbagai satwa dari semenanjung Benua, karena keramahan kita tak memikat mereka untuk bersinggah. Lihat lah rongga-rongga pepohonan memeras duka terkulai tanpa air. Kulit kita penuh luka. Akar kita tak lagi dalam mencengkeram-mengenggam perut bumi."

"..."

"Sebentar lagi akan datang para pencari kelenjarmu yang hilang, gersang! Mereka ingin membudidayamu untuk masa berabad-abad, bagi masa depan.”
"Siapa mereka...?"
"Manusia!"
"Kenapa harus aku, paman!"
"Sebab kau adalah benih penyelamat semesta."
“Untuk apa mereka melakukan itu?”
“Untuk menebus dusta mereka terhadap semesta, mungkin juga kau akan diperbudak!”
“Tak cukup leluhur kita yang terbunuh?”
"Nafsu tak menuntut kesuburan masa lalu, gersang!"

“...?”

“Kau adalah benih kehidupan, gersang!. Benih kehidupan untuk keseimbangan makro-kosmos anak cucu. Semoga nasibmu tak sama dengan nasib saudara-saudaramu di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Irian, Jawa dan di belahan dunia manapun, tapi aku menyangsikan itu. Esok lusa kau akan berpindah tempat ke tempat lainnya. Tergantung yang menginginkan kehormatan dan rasa bangga. Kau bisa berada di dalam miniatur hutan berkaca indah. Bisa juga di atas kapal pesiar para hartawan. Di tempat berbeda kau di rawat di kamar konglomerat atau artis yang sedang meroket. Aaah, bisa juga kau akan berdiri tegak di dalam pot plastik di pinggir jalan raya.”

"Jangan menakut-nakutiku, paman."
"Tidak! Itu benar, aku harap kau tetap berdaya."

"..."
Suara mesin mengiringi kematian benih-benih.
Desah angin tersesat.

Gersang tiada lagi berdiri. Jalan setapak sesak-berjejal. Tanpa hutan dan telaga. Burung-burung terkubur tanpa maksud terbunuh. Gersang hilang meninggalkan sepotong akar yang merengkuh fatwa sang raja. Manusia bersenandung senang mendapatkan bencana. Langit menutup muka. Bumi membuka luka. Bukit-bukit berduka. Puncak kehilangan taman. Tanah tergenang hingga ke Istana. Ketakpuasan merajut benih pada keindahan, tak sadarkan diri. Ketakutan pada kematian melepaskan diri. Paman resah sendiri meneteskan air mata. Ia menistakan kenyataan. Paman resah tertinggal, dan mati.

Gersang segala tanpa air yang terangkat.
Semesta resah mendekam tua tak berdaya.
Bencana mencekam melanda prahara dimuka.
Akan kah semesta tenggelam tanpa tanda...!???.


apen MAKESE
KalaRinduMenghujam
01 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dosa Dalam Doa

malam ini mungkin akan gelap sebab rindang gersang enggan melepaskan senyap gelap ini mungkin kan berahir kelam sebab alfa doa-doa t...