Ku tuntun jalanku dalam waktu. Mesti kebuntuan temukan muara
Tak ingin berhenti sebelum berahir
Ku buru waktu dalam jalanku. Mesti bergerak membuka cara
Menggali makna ciptakan arah
Biar terbawa jua akal menjadi hamba
Aku saksikan satu kesaksian. Dengan sajak. Dengan kata. Dengan puisi. Dengan sabda. Dengan pelepah. Dengan tajam mata. Dengan kebutaan warna. Dengan kehancuran makhluk. Dengan kepunahan bahasa. Dengan kebuntuan ilmu. Dengan kerapuhan arus waktu. Atau dengan apa saja. Bersama laut. Bersama daun-daun. Bersama angin. Bersama air. Bersama tanah. Bersama udara. Bersama langit. Bersama bumi. Di antara api. Tidak ada siapa-siapa. Hanya Allah, Tuhan-ku. Juga aku, seorang hamba. Aku percaya pada kalam. Pada suara alam. Pada bisik kesucian Jibril. Pada denting kebenaran nurani Adam Hawa. Pada elok cahaya bidadari pagi. Pada malam-malam gelap yang mengawasi ratapan iblis. Pada purnama bulan di langit yang tak bergeming. Pada hangat matahari yang terbit dari Barat yang kemudian tenggelam di Timur senyap. Aku masih menatap bintang-bintang Ahmad. Dan atas hari-hari yang timbul tenggelam. Aku resah di dalam sabda. Aku tersesat bebenah beban bencana. Dan tak jarang aku bentangkan bendera peperangan.
Hanya satu kehidupan
Di antara beribu denyut
Membunuh dan mewujud
Bukan kebetulan aku mewujud di dalam rahim. Meski berupa tetesan air. Aku adalah telaga. Bulan. Matahari. Dan bintang gemintang. Mungkin juga bencana. Hal terahir mungkin yang menjadi sumber pertanyaan malaikat tentang penciptaan. Tapi sudahlah. Mereka hanya bertanya tentang sesuatu yang tak mampu dibebankan kepada mereka bila pertanyaan itu terjawab oleh Tuhan. Sulit aku bayangkan bila setetes air membelah diri. Kemudian berbagi. Atau berkurang menjadi setengah tetes. Atau bahkan kering kerontang dan tampak kosong. Ah, aku sedang menyokong pertanyaan yang juga bodoh. Tapi hidup tetaplah sebuah kehidupan. Mencair. Tidak membeku. Tidak pula hancur. Setetes yang menyatu ke dalam isi dan bentuk adalah bukti. Ber-rupa. Dan Bercampur aduk saling menutupi. Menunggu waktu untuk dinyanyikan satu lagu.
Ketika air itu membasahi pedang
Tajam matanya menjadi karat
Menghangat menjadi kapal perang
Menjadi taman dan kapal karam
Wahyu membangunkan denyut kehidupan. Segumpal darah. Merah menelan aswajah. Melukis tanda dalam laut tak bernama. Mengarungi samudera menemukan dermaga. Di perbatasan yang menjadi pembatas. Ia pasti berhenti untuk berdiri sendiri. Dari air. Menjadi darah. Berupa daging. Berbentuk tulang. Hirup udara menjadi hidup. Dalam wajan saksikan Ia tak terkata. Apalagi bertanya. Tak terbantah meski tak terjawab. Entah dengan mata apa aku beradu pandang. Tak mampu aku jelaskan dengan ketumpulan analogi akal anak-anak zaman. Di dalam Rahim. Aku menjadi aku. Dari air menjadi darah. Dari darah menjadi daging. Dari daging bebentuk tulang. Dari sari segala menjadi lempung tanah. Semula tiada berwujud nyata. Berbuah menjadi kebenaran. Aku menanda. Aku memandang. Aku berkata. Kaulah Segala!.
O, dari tali-temali pusar aku menjadi kuat
Dari cinta yang terungkap aku menjadi liat
Tumbuh menjadi ladang bagi pemanen yang malang
Aku terlahir. Kemudian menangis. Dari air mata membuka mata. Dengan nyanyian menjadi manusia. Perlahan menjadi anak. Dalam semesta tumbuh menjadi mahluk yang didefinisikan umum. Bercampur dalam wujud kerumunan. Lembut mengukur hubungan. Laku pongah sebatang tubuh. Kesombongan sebongkah tindakan. Bergerak bertingkah rupa. Malu. Takut. Ragu. Terjatuh. Terbina. Kemudian terbangun. Ada masa dimana patah perlahan dalam dinamika wicara. Ada kala dimana harus bangun pelan-pelan di dalam catatan sejarah. Aku kini coba temukan tempat duduk. Agar dapat hidup dalam pelukan rahim bumi. Dalam harmoni aku berlari sendiri, tanpa kepastian kembali. Membelah dan mengkaji simponi. Hingga hari ini, aku masih selalu membangun kamar tidurku di tengah gemuruh gelombang laut yang menghancurkan dinding pasir di pantai yang sunyi.
Aku tak memiliki siasat apa-apa. Tak ingin juga menipu daya. Aku yang lahir di tengah kesalahan keadaan. Di antara kekurangan pemahaman tentang satu kenyataan sejarah-budaya zaman. Ah, hingga kini aku masih mencari pengertian. Tapi malah menemukan kesimpulan. Aku kembali pada definisi. Aku malah kekurangan tafsir untuk menerjemahi istilah-istilah. Mungkin kitab suci terlalu lama ditinggalkan oleh para penyaji. Hingga setiap diri merasa terkucil bila mendapatkan ujian. Padahal tak ada kenyataan yang benar-benar keluar dari bahasa. Bukankah sebab-akibat adalah dampak dari niat yang termanifestasi di ruang praktek dunia. Aku jadi memikirkan tentang kehendak bebas dan takdir Tuhan. O, sama seperti kematian dan juga kehidupan. Aku hanya berusaha menanam dan merawat benih. Dengan air dan juga pupuk yang sesuai kebutuhan hidup. Kapan ia berbuah dan layu. Hanya kekuatan yang tumbuh dari dalam kemauan diri dan juga tubuh yang menjadikan akar tegak berdiri. Menjadi biji. Mengadakan fisik. Di bawah restu aku berlabuh. Berubah bentuk menjadi makhluk. Alastu bi Rabbikum? Ketika aku ditanya dan membuat pernyataan. Qaaluu balaa syahidnaa. Itu yang terjawab. Waktu yang tercatat menjadi janji dan saksi yang pasti. Tentang kematian adalah takdir. Kapan dan dimana kehendak bebas manusia yang menahan dan mempercepat. Pengetahuan tidak mampu buktikan waktu yang spesifik selain dengan air mata penghayatan. Atau dengan kesunyian batin yang sunyi senyap.
Bilakah waktu aku masuk ke dalam Rahim?
Menjadi janin di dala rahim ibu atau rahim bumi
Rahim langit atau rahim apa saja yang bisa didiami
Kemudian aku ingin reinkarnasi dan menjadi Nabi
Tapi tak mungkin!
Tak mungkin yang mustahil menjadi mungkin
Aku tidak ingin lahir kembali menjadi bibit
Entah bibit api atau bibit air. Aku enggan memilih
Genderang berbunyi lagi. Nyanyikan kebahagiaan kanak-kanak dan keceriaan remaja. Cinta dan karya ibu bapak. Kenangan pada masa dan karsa budaya. Ada saja kebencian diantara pengawal zaman. Kejahatan tak terbantah yang dihasilkan oleh perang. Tersimpan kekasaran para penderma. Sementara budak-budak kehilangan harapan. Belum usai juga. Kemurahan berubah menjadi kemarahan. O, kemurkaan. Penghianatan. Kedurhakaan. Kasih ibu terkubur oleh beribu sumpah yang terhunus. Perasaan sayang sang kakak sayup-sayup terhapus oleh sebongkah batu yang terpasung. Kesadaran para peramal tentang amal menjadi kabur. Ketidaksadaran para pengamat tentang kesalahan menjadi darah. Kesalahan para pendakwah menerjemahkan hukuman menjadi pertanda.
Dari langit sasmita yang masih menggantung
Suara-suara masih selalu mewahyu
Dan di semesta bumi yang masih berdiri
Bisik-bisik ini masih tetap tersimpan
Dan segalanya mustahil bukan menjadi milik-Nya.
Aku masih dalam perjalanan sejarah yang duduk dengan rupa dan warna tertentu. Tak peduli akan merah darah dan kering air mata. Jika sajadah peradaban terbentang. Terserah kau mau tercecer menjadi sampah abad atau budak zaman. Berjalanlah terus. Sejarah enggan menenggok ke belakang untuk merangkul tipu daya tangan-tangan berdarah. Sabda tetap terbawa. Bertemu wajah para utusan ahir masa. Bukankah fakta sejarah adalah senjata bagi pengelana. Tapi aksara bagi petapa makna. Dan nada-nada bagi para musafir malam. Setingkat di atas itu adalah rahasia bagi para mursyid alam. Sastra jiwa bagi para pecinta. Racun bagi para penggila rupa dan penikmat rasa. Aku terjebak dalam lumpur hidup. Menjebak kembali bunga-bunga belukar. Saling jebak-menjebak dengan dupa sebab alasan suka maupun luka.
Tersesat di jalan bertapak
Menyesatkan jalan sedarah
Atau sesatkan ia kawan setanah.
Aku kemudian mengamati hari-hari. Berujar sendiri dalam sunyi tiada berahir. Hari ini, jari-jariku menjadi alat musik bagi kesunyian. Petunjuk bagi keheningan dan kenyataan kusut turun temurun. Mungkin akar-akarnya akan menjalar untuk beberapa tahun mendatang. Tapi aku ingin menjadi pemain bagi lagu kehidupan semenjana. Biar kucoba temukan jalan. Meski di lintasan garis katulistiwa yang maha gelap. Dengan khalwat atau apa saja demi ketenangan. Aku berkaca kemudian membaca. Membaca segala noda dan dosa yang bergerak. Atau membaca apa saja agar menjadi kitab kebenaran.
Tak cukup! Aku pun menulis kemudian berpikir. Menulis segala dengan kertas dan pena. Berpikir apa saja meski hanya sebuah ilusi. Lalu aku menemukan puisi. Puisi diri dan puisi bisik tersembunyi. Kemudian aku coba belajar tentang bunyi-bunyi dalam kesunyian. Sendiri tanpa alat tulis dari penghuni bumi. Aku belajar pada apa yang aku rasakan hakiki. Meski sakit. Atau pun pahit. Tapi aku yakin ia adalah kebaikan Ilahi. Maka aku biarkan puisi ini menjadi ranjang bagiku. Ranjang yang akan benahi benak-benak kalam. Oh, ranjang yang menghempaskan kemauan perempuan-perempuan abad.
O, babad baru yang tercatat
Tak ingin segalanya bercampur
Aku tak belajar menipu dari keraguan
Sebab bumi sudah begitu sangat murung
Sudah biarkan saja iblis meninggikan tentang ketinggian diri melalui cermin api. Aku hanya air setetes. Dan aku tak ingin terbakar habis. Biar saja iblis tertawakan tanah dengan kekasaran serta kemarahan untuk mendapatkan hormat. Aku cukup menjadi tanah bagi setetes hina. Maka aku biarkan bumi ini menjadi puisiku yang telanjangi diri. Akan kubiarkan puisi ini menjadi titik ahir dari pengakuan sang api terhadap penyesalan dan kesalahan berabad-abad. Selain itu, aku biarkan yang lain berebah melepas dahaga. Meski puisiku tak terfahami oleh keinginan bumi. Aku biarkan ia tertanam oleh tanah. Atau terhapus oleh air. Bukan terbakar oleh api. Atau punah termakan panas.
Aku dan puisi akan mengada di atas dada-dada para pemuja
Menciptakan notasi untuk membungkam kecemburuan pemuda
Biar haus telaga terpenuhi oleh harapan penggila
Maka aku berikan harum puisi menjadi minyak wangi
Dari celah langit kecil yang aku saksi. Kali ini aku ingin menanggung derita malam dengan telanjang dada meraba kelam. Tapi pelepah enggan menjadi papan bagi dupa budak-budak pemuja ruang. Haruskah aku merawat luka dalam luka. Atau aku campakkan mereka dalam rupa. Haruskah aku mencari jalan dengan menjadi api. Atau aku buang segala yang tertanam ke dalam telaga tanpa air yang menyegarkan.
Aku tak bermaksud berbagi nasib. Sebab nasib adalah kesunyian masing-masing. Dalam tanah lempung ia adalah bangunan. Di tengah samudera ia adalah kapal yang sedang menuju pelabuhan. Di atas daratan ia adalah taman bunga. Di antara awan ia adalah sayap-sayap. Di dalam kesunyian ia adalah puisi. Di dalam puisi ia adalah air mata. Di dalam air mata ia adalah aku yang kau buang tanpa kertas dan tinta. Aku dan kau tak akan berbagai nasib. Aku hanya menawarkan rasa melupakan masa. Tak apa, jika kau ingin mengumpulkan bara melupakan asma.
Di atas tanah yang bersimbah darah
Daging dan belulang kehabisan udara
Terjerembab dalam kapal tanpa nama
Sendiri dalam petapaan. Tanpa kawan. Tiada lawan. Hanya catatan sejarah dan kertas kehidupan. Aku lalu mencium aroma yang aku kenal. Harum minyak wangi yang terberi. Seperti kesturi dari alam surgawi. Titik-titik menjelma menjadi rahim. Bersih lagi Suci. Kembali. Aku kembali dari rahim aku menjadi. Dalam rahim aku kembali menyaksi. Mencari air. Menjadi darah. Membentuk daging. Ciptakan tulang. Aku kembali pulang ke dalam alunan agung. Di alun-alun yang mengurai tetes demi tetes. Aku mengenali air dari mata air. Hening telaga di tepi-tepi. Setitik dan sedikit. Ia mengalir mengikuti sungai yang jernih. Tampak sisa air mata menjadi mata air. Bening dalam rahim. Rahim ibu. Rahim bumi. Rahim langit. Atau rahim apa saja. Kini aku tengah menunggu para penunggang fajar yang terkubur dari masa tak terbatas dalam kalam. Aku masih dalam perjalanan menuju terminal kehidupan.
Apen MAKESE
KalaGelepMakinGelap
24 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar