Masalah kepemimpinan akan
tetap aktual dan relevan untuk dibahas
dalam konteks kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, sebab Pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership)
bukan merupakan istilah baru dan melekat di dalam diri manusia,
oleh karena tidak melekat itulah, maka kepemimpinan dapat dilahirkan bahkan
dibentuk dalam berbagai aspek, baik dalam politik, sosial, ekonomi, agama,
maupun budaya dan lain-lain. Dalam
kamus Merriam The Webster, didefinisikan sebagai orang
yang memimpin (a person who leads). Inti dari definisi tersebut adalah
memimpin. Lantas apa sebenarnya hakikat pemimpin? Beberapa ahli
mengemukakan bahwa makna dan hakekatnya, “Adalah kegiatan untuk mempengaruhi sekelompok
orang untuk bekerja sama mencapai tujuan yang dikehendaki bersama”. Maka sudah sepatutnya pemimpin adalah orang yang mampu bekerja sama
dengan masyarakat untuk
sama-sama mencapai tujuan yang dikehandaki bersama.
Hal ini membuktikan
bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses pengaruh-sosial yang
terjadi secara alamiah di dalam sebuah sistem sosial yang dirasakan bersama di
antara berbagai anggota dari sebuah sistem tersebut. Oleh karena hal tersebut, seorang pemimpin
harus memiliki kemampuan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik
ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dan agama, meskipun tanpa harus diingatkan oleh masyarakat dan/atau
oleh keadaan. Jikalau tidak, maka lambat-laun masyarakat dalam istilah
sosiologi akan menjadi jagernaut
(mutan) yang
berpontesi menjadikan kehidupan sosial menjurus pada radikalisme maupun anarkisme, bahkan sangat
mungkin akan berubah menjadi colapse.
Selain meningkatkan
kesejahteraan, kepemimpinan harus memiliki
kemampuan untuk dapat menyatukan
perbedaan kepentingan sekaligus dapat mengelola berbagai potensi konflik dalam
bingkai kebersamaan yang lebih partisipatif, demokratis, dapat memaknai
diferensiasi-sosial
sebagai kesempatan menyatu (melebur) ke tengah-tengah masyarakat, menjadi penengah sekaligus
pengayom, yang mampu
mengeser pendekatan analitis menjadi pendekatan hipotesis, dan memiliki kebijakan-kebijakan yang berdampak baik.
Karenanya, Dalam konteks kepemimpinan, dibutuhkan seseorang yang mengedepankan
kepentingan bersama
daripada pribadi, keluarga, dan golongan.
Dalam konteks kekinian, gagasan tentang desentralisasi atau
otonomi daerah adalah bentuk
penghargaan lain terhadap
daerah, baik kemampuan
diri sendiri, swasembada dan sikap mandiri, hal ini
dibuktikan dan diamini oleh masyarakat dalam berbagai even Pilkada, misalnya.
Meskipun tidak sesederhana itu, namun betapa masyarakat membutuhkan
pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual yang multi-prespektif, komitmen
dan wawasan kearifan lokal
yang sangat baik untuk memimpin. Hal yang sama juga masyarakat butuhkan dalam
politik hari ini, bagaimana mendapatkan pemimpin
yang mengedepankan jiwa kepemimpinannya, kecepatan dan ketepatan mengambil satu
kebijakan bagi kepentingan masyarakat, menumbuh-kembangkan sarana-prasarana ekonomi dan
sosial, serta pemanfaatan aset budaya menjadi komoditas yang memiliki nilai
ekonomis.
Sekalipun secara formal politis, pemimpin ditentukan dan dipilih, serta
berasal atau dicalonkan oleh partai politik tertentu. Akan tetapi, pemimpin
memiliki konsekuensi peran dan tanggung jawab yang melampaui batas-batas
kepartaian dan golongan kesukuannya. Sebab perubahan dan kemajuan daerah dan masyarakat tergantung bagaimana peranan pemimpin hari ini, Betul adanya bahwa pemimpin yang tampil selayaknya memimpin oleh karena panggilan ideologi (pengusung) dan bertindak
secara konsisten sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan ideologinya. Namun bukan merupakan alasan untuk
bertindak berlebihan (mutlak)
atas nama visi dan misi partai, sehingga meniadakan peran dan fungsi dirinya
sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan manusia. Oleh karena demikian,
tanggungjawab dan sikap pribadi
(tidak juga sewenang-wenang) semestinya perlu dikedepankan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan
sosial-ekonomi kearah pembentukan tatanan masyarakat yang baik.
Maka pola
kepemimpinan yang dituntut hari ini adalah kepemimpinan yang menjamin terbentuknya masyarakat
dengan tingkat
kesejahteraan yang baik, demokratis, berkeadilan, sejahtera dan terhormat. Konsekuensi logis
kiprah seorang pemimpin harus dapat dituangkan
melalui kebijakan-kebijakan yang berdampak sangat luas terhadap kehidupan
masyarakat banyak. Oleh sebab itu, kepemimpinan
dan kekuasaan tidak bisa melepaskan diri dari persoalan etika dan moral dimana
masyarakat tempat ia hidup menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Bagaimana
gagasan-gagasan politik, seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan,
produktivitas, distribusi, dan kebijakan-kebijakan lain dapat terjelaskan
secara baik, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai satu kebajikan dunia dan
akhirat.
Saya kira disinilah, kepemimpinan dikatakan
sebagai sebuah keputusan, sebuah kesimpulan perjalanan jiwa dan pemikiran dari “diri
yang dicermati” maupun “diri yang sejati”. Hasil dari berbagai proses perubahan
karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang, ketika seseorang
menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan
karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan
pengaruh kepada perubahan dan lingkungannya, pada saat itulah seseorang lahir
menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang
diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam
diri seseorang.
Bukan yang berkembang dari luar dan di atas kepentingan
yang direncanakan (baca : kontrak politik terselubung), atau bukan yang lahir
dari rahim politik belas-membalas (balas barang dan jasa, atau balas budi, atau
balas dendam) atas keberpihakan politik. Yaaa, mungkin hal ini sebuah proses yang
lumrah terjadi dalam berpolitik, namun menyakitkan jika ditelaah sebagai sikap
kekanak-kanakan alias dangkal dalam pendewasaan berpolitik. Karena sejatinya seorang
pemimpin sebagai cerminan masyarakat harus dapat membedakan antara kodrat (nature) dan budaya (culture), antara hamba dan khalifah, yang mengaktivasi
aneka potensi dan sumber daya, sehingga daerah yang dipimpin mampu berjalan secara
efektif dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan bersama. Oleh karena itu, sekali lagi bahwa kekuasaan
mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Penilaian
baik atau buruk senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu
tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat. Sebab kekuasaan
senantiasa berada di
dalam setiap masyarakat.
Terima kasih…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar