Jumat, 15 September 2017

KEPEMIMPINAN; Di antara Perspektif : Kebutuhan atau Keinginan?

Masalah kepemimpinan akan tetap aktual dan relevan untuk dibahas dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebab Pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) bukan merupakan istilah baru dan melekat di dalam diri manusia, oleh karena tidak melekat itulah, maka kepemimpinan dapat dilahirkan bahkan dibentuk dalam berbagai aspek, baik dalam politik, sosial, ekonomi, agama, maupun budaya dan lain-lain. Dalam kamus Merriam The Webster, didefinisikan sebagai orang yang memimpin (a person who leads). Inti dari definisi tersebut adalah memimpin. Lantas apa sebenarnya hakikat pemimpin? Beberapa ahli mengemukakan bahwa makna dan hakekatnya, “Adalah kegiatan untuk mempengaruhi sekelompok orang untuk bekerja sama mencapai tujuan yang dikehendaki bersama”. Maka sudah sepatutnya pemimpin adalah orang yang mampu bekerja sama dengan masyarakat untuk sama-sama mencapai tujuan yang dikehandaki bersama.

Hal ini membuktikan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses pengaruh-sosial yang terjadi secara alamiah di dalam sebuah sistem sosial yang dirasakan bersama di antara berbagai anggota dari sebuah sistem tersebut. Oleh karena hal tersebut, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dan agama, meskipun tanpa harus diingatkan oleh masyarakat dan/atau oleh keadaan. Jikalau tidak, maka lambat-laun masyarakat dalam istilah sosiologi akan menjadi jagernaut (mutan) yang berpontesi menjadikan kehidupan sosial menjurus pada radikalisme maupun anarkisme, bahkan sangat mungkin akan berubah menjadi colapse.

Selain meningkatkan kesejahteraan, kepemimpinan harus memiliki kemampuan untuk dapat menyatukan perbedaan kepentingan sekaligus dapat mengelola berbagai potensi konflik dalam bingkai kebersamaan yang lebih partisipatif, demokratis, dapat memaknai diferensiasi-sosial sebagai kesempatan menyatu (melebur) ke tengah-tengah masyarakat, menjadi penengah sekaligus pengayom, yang mampu mengeser pendekatan analitis menjadi pendekatan hipotesis, dan memiliki kebijakan-kebijakan yang berdampak baik. Karenanya, Dalam konteks kepemimpinan, dibutuhkan seseorang yang mengedepankan kepentingan bersama daripada pribadi, keluarga, dan golongan.

Dalam konteks kekinian, gagasan tentang desentralisasi atau otonomi daerah adalah bentuk penghargaan lain terhadap daerah, baik kemampuan diri sendiri, swasembada dan sikap mandiri, hal ini dibuktikan dan diamini oleh masyarakat dalam berbagai even Pilkada, misalnya. Meskipun tidak sesederhana itu, namun betapa masyarakat membutuhkan pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual yang multi-prespektif, komitmen dan wawasan kearifan lokal yang sangat baik untuk memimpin. Hal yang sama juga masyarakat butuhkan dalam politik hari ini, bagaimana mendapatkan pemimpin yang mengedepankan jiwa kepemimpinannya, kecepatan dan ketepatan mengambil satu kebijakan bagi kepentingan masyarakat, menumbuh-kembangkan sarana-prasarana ekonomi dan sosial, serta pemanfaatan aset budaya menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomis.

Sekalipun secara formal politis, pemimpin ditentukan dan dipilih, serta berasal atau dicalonkan oleh partai politik tertentu. Akan tetapi, pemimpin memiliki konsekuensi peran dan tanggung jawab yang melampaui batas-batas kepartaian dan golongan kesukuannya. Sebab perubahan dan kemajuan daerah dan masyarakat tergantung bagaimana peranan pemimpin hari ini, Betul adanya bahwa pemimpin  yang tampil selayaknya memimpin oleh karena panggilan ideologi (pengusung) dan bertindak secara konsisten sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan ideologinya. Namun bukan merupakan alasan untuk bertindak berlebihan (mutlak) atas nama visi dan misi partai, sehingga meniadakan peran dan fungsi dirinya sendiri sebagai bagian dari masyarakat dan manusia. Oleh karena demikian, tanggungjawab dan sikap pribadi (tidak juga sewenang-wenang) semestinya perlu dikedepankan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi kearah pembentukan tatanan masyarakat yang baik.

Maka pola kepemimpinan yang dituntut hari ini adalah kepemimpinan yang menjamin terbentuknya masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang baik, demokratis, berkeadilan, sejahtera dan terhormat. Konsekuensi logis kiprah seorang pemimpin harus dapat dituangkan melalui kebijakan-kebijakan yang berdampak sangat luas terhadap kehidupan masyarakat banyak. Oleh sebab itu, kepemimpinan dan kekuasaan tidak bisa melepaskan diri dari persoalan etika dan moral dimana masyarakat tempat ia hidup menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Bagaimana gagasan-gagasan politik, seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas, distribusi, dan kebijakan-kebijakan lain dapat terjelaskan secara baik, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai satu kebajikan dunia dan akhirat.

Saya kira disinilah, kepemimpinan dikatakan sebagai sebuah keputusan, sebuah kesimpulan perjalanan jiwa dan pemikiran dari “diri yang dicermati” maupun “diri yang sejati”. Hasil dari berbagai proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang, ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada perubahan dan lingkungannya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.

Bukan yang berkembang dari luar dan di atas kepentingan yang direncanakan (baca : kontrak politik terselubung), atau bukan yang lahir dari rahim politik belas-membalas (balas barang dan jasa, atau balas budi, atau balas dendam) atas keberpihakan politik. Yaaa, mungkin hal ini sebuah proses yang lumrah terjadi dalam berpolitik, namun menyakitkan jika ditelaah sebagai sikap kekanak-kanakan alias dangkal dalam pendewasaan berpolitik. Karena sejatinya seorang pemimpin sebagai cerminan masyarakat harus dapat membedakan antara kodrat (nature) dan budaya (culture), antara hamba dan khalifah, yang mengaktivasi aneka potensi dan sumber daya, sehingga daerah yang dipimpin mampu berjalan secara efektif dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan bersama. Oleh karena itu, sekali lagi bahwa kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Penilaian baik atau buruk senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat. Sebab kekuasaan senantiasa berada di dalam setiap masyarakat.

Terima kasih…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dosa Dalam Doa

malam ini mungkin akan gelap sebab rindang gersang enggan melepaskan senyap gelap ini mungkin kan berahir kelam sebab alfa doa-doa t...