Dengan menyembut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Atas segala limpahan yang menjadi pagar penjaga
nikmatnya, aku berucap syukur! Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan pengharapan ketika berada dalam lorong-lorong
kekosongan. Kemudian shalawat semoga dilimpahkan khususnya kepada Nabi Muhammad, hamba dan Rasul-Nya, umumnya pada para
nabi-nabi dan para auliya.
Dalam risalah
pembuka dari sebuah Antologi Kesunyian Putri Yang Hilang (La Hila) yang masih menjadi
misteri dan menyisakan tanda tanya besar untuk anak-anak abad-zaman ini. Kucoba
membuka pintu tanda tanya dengan satu sketsa kebinggungan
atas kehidupan masa silam, dan pada kesunyian
yang terpendam pada wajah zaman yang berjalan, sebagai upaya memahami jawaban. Antologi Kesunyian, selain memuat tentang perabaan
terhadap sosok Putri Yang Hilang, terdapat pula tulisan tentang perasaan cinta
dan kenyataan lain. Pada bagian ke-3 dan ke-4, tulisan yang ada adalah tulisan
yang pernah dimuat di dinding Facebook dan disertai komentar dari beberapa
kawan-kawan yang menjadi teman Facebook.
Dimana hal ini
dimaksudkan, sebab pesona kehidupan memiliki akar dan pesona tersendiri bagi pribadi masing-masing, saling
terkait semisal denyut pemikiran yang sama, namun berbeda soal bicara dan
penyampaian. Antologi Kesunyian, berwajah aforis, atau nampak seperti alegori
dan metafora yang hadir dari ruang fantasi dan juga ilusi yang sejadi-jadinya,
antologi tanpa halaman, tidak ada batasan melainkan untuk Putri Yang Hilang. Jika
diyakini sebagai kebenaran (seperti tentang La Hila), maka hakikat semestinya
memberikan warna. Oleh karenannya, dimensi sejarah
yang terkadang masih menimbulkan decak keresahan semacam keraguan, apakah benar
adanya, ataukah hanya sekedar angan-angan belaka, harus kita kembalikan pada
perenungan masing-masing.
Dalam Antologi
Kesunyian yang seringkali mengalami kebinggungan ini, yang kulakukan adalah
upaya mencoba menyatukan titik-titik kecil dari berbagai perjalanan sejarah dan
warisan leluhurku sendiri sebagai satu kesatuan yang
memiliki hubungan kausalitas yang universal. Pergulatan yang tertuang di atas alfa kesunyian ini, mungkin diluar kewajaran
dan terjemahan yang tepat, namun hal ini merupakan awal dari titik keberangkatan,
meskipun isi dan bentuk ceritanya membias kemana-mana, bahkan mungkin akan
dianggap sebagai sebuah tulisan dengan tingkat absurditas abal-abal.
Pada ahirnya,
aku menyalin diriku agar bisa menjadi Aku, menjadi tafsir bagi setiap gerakan maupun
lirikanku pada bisik langit dan bumi. Dan aku berterima kasih kepada Ibu-Bapaku,
Paman-Bibiku, Kakak-Adiku, Istri-Anaku (Cahaya Bintang Mahisha dan Raihana
Syakira), Bapak-Ibu Istriku dan semua keluarga. Para Sesepuh dan Tetua (Yang Membimbing dan menjadi teman diskusi
tentang sejarah dan kajian/fi’tua), Kawan-kawanku, Cak Bagus Soleh Ahmadi (atas
cover paling baik, aku rasa), Ilham Rao (Target Buser), Gus Roy (dengan
hijibnya), Al-Kahf (thanks to kritik sarannya), Omen_Lukman Zul, Nico Manggila
dan kawan-kawan La Hila Band (Ame, Iam, Adji), Abhym Rangga G, Abinz Ncuhi S,
Ust. Tovan, Ust. Aminullah, Acoy Freedom, Prof. Helen, Fadli Harahap, Arya (Panipu), Cak Romi
(aktivis Ciputat), Kang Ipoel M, Taufik S., Husni Seban, Tanjung, Macho, Bin Kalman (Kahaba),
Agus Mawardi (MM), Bang Peq dan kawan-kawan Radio Aksi (Cerita Lama), Bunda
Mahmudah (Kajur PMI kami yang baik), bu Wati (Sekjur PMI yang baik pula), Pak Tantan (Dosen
favorit) dan PMI UIN, kawan-kawan angkatan 10 dan 12, kawan-kawan kuliah (2003
ke-atas), semua kawan-kawan dan semua pihak, yang tidak bisa disebutkan satu
per satu, terima kasih, dan untuk tanah kelahiranku O’o Donggo, wilayah tempat
tinggalku, Desa Punti Soromandi Bima. I Love U.
Ahirnya, aku mencoba untuk
berteguh hati untuk tetap menulis apa yang aku inginkan, apa yang menurutku baik dan benar, berdasarkan kisah yang terhubung erat. Untuk Putri Yang Hilang, “Aku mencintaimu
dengan cinta yang tidak terbuat
dari apa-apa/bila hanya fatamorgana/aku tetap akan katakan cinta/sebab cintamu telah terukir di atas tiada/dan tertambatlah ia/dengan nyata dan selamanya di dalam dada/jika ada setitik kebencian yang tertanam/akan
kusingkirkan dengan belati kalam/aku mencintamu bagai bentang alam/dan bila pada ahir
masa/kita dapat bersitatap mata/maka pada kelopak jiwamu/kudaratkan tahta cintaku”.
Donggo, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar