Semula aku ingin tuliskan satu sajak tentang andromeda atau cerita armagedon. Di sana pun aku ingin menemukan zona merah Eropa-putih buih Yunani-kuning langsat Cina-hijau jalan Arab-ungu bukit Bosnia-biru malu taman pelangi yang tertutup gerimis langit. Tapi ku urungkan niatku merangkaikan kata, yang sejenak membiasakanku memyembunyikan wajah.
"..."
Wahai MERAH-PUTIHku!
Kabarkan segera kepada anak-cucu bangsa, bahwa leluhurnya telah terusir dari negri yang mereka wariskan dengan darah dan nyawa. Biarkan dunia tak mengerti tentang derita. Biar saja manusia menutupi segala resah. Asal anak-cucu tak lagi terkurung dalam kubangan sampah-abad dan budak-zaman yang berjalan kini.
O, MERAH-PUTIHku!
Relakah tiangmu terbubuhi ribuan titik noda yang menekan?. Kau terpaku tiada daya. Jangan biarkan warnamu terhapus musuh yang tersenyum-memeluk-berselimutkan-duri-menyelamatkanmu. Jangan lepaskan akarmu yang tertancap dalam, menahan segala letih. Musuh-musuh mengendap, ingin meratakan tiangmu dengan tanah. Terjaga lah!
Dadaku sesak terusik sukma.
Merasuk hingga memecah berburu.
Pembuluh darahku tersesat memuncak di garis batas.
Aku tuliskan sajakku untukmu. Terserah bahasa mengartikan apa dan bias mata menatap curiga. Puisiku terlahir dari harapanku akan kebebasanmu yang terjepit diantara rahasia masa tuamu yang sebentar. Aku tertawa jenaka menatap wajahmu di layar kaca tanpa warna. Hatiku tenggelam di kedalaman lelahmu yang menghias rasa-kalut-resah-gurat ketuaanmu yang rela.
Ku temukan dirimu di padang gersang bangsa yang bersahaja.
Letih jiwamu menampar lena para penikmat pena dan pemburu buku.
Retak harapmu memaksa aku menahan segala...
O, nenekku yang rapuh
Pelepah hatiku mengatakan bahwa kematian lebih keras dari batu, lebih panas dari api yang membakar jahanam, bahkan lebih tertutup dari rahasia pemilik kerajaan dan bangsa. Tapi kematian hanya meninggalkan tangis, raga, dan air mata sejenak. Cintamu pada bangsa meninggalkan semua kenangan manis bersama batu, peluru, dan musuh. Dan itu lebih berat dari kematian sang pahlawan.
Nenekku...!
Aku tau, kau rindu bertemu senyum sang kakek di liang gelap tak berharga.
Wajahmu menandakan rindu ingin memeluk-berbagi-lelah dan kisah.
Bukankah kau dan dia sudah lama berharap saling bercengkerama.
Kini, kau sendiri tak memiliki makna apa-apa.
Hingga pidana menekan segala rasamu yang acak.
Sementara anak-anakmu hilang di kerumunan zaman yang pasrah.
Aku adalah cucumu yang hendak mengadu tanpa tau harus berbuat apa.
Bangsa menahanku dengan senjata dan ancaman, dengan kepalan dan laras.
Mungkin coretan di atas kertas adalah fakta yang tiada guna bagi inginmu.
Sabar dan doa memaksa air mataku jatuh ke dalam, tak tertahan.
Sejak merdeka, sudah ribuan titik noda tertanda di merah-putih kita.
Kau hanya korban yang tampak di titik muka.
Sementara janda pahlawan yang lain
Dengan peristiwa yang sama mereka telah tiada.
Meraka tenggelam tanpa nyawa. Terkubur tanpa nama.
Jangan merasa terkucil, wahai nenekku yang agung
Kau hanya korban dari budak zaman kini
Biarkan sampah abad mengabaikan umurmu.
Ribuan sujud sedang mengalun, terantuk batu.
Doa-doa tersembunyi mengiringi jejak jari-jemarimu.
Biar saja sampah abad berzikir bersama iblis.
Tiang Merah-Putih masih tertancam di pusara makam kepahlawanan kakekku.
O, nenekku yang kalut!
Di Bima. Kemarin pagi, nenekku yang satu telah mati.
Ia adalah janda veteran perang yang tertinggal di ujung Indonesiaku yang luas.
Di Makassar
Kemarin siang, nenekku yang lain lagi telah terkubur.
Di Maluku
Kala senja kemarin, perempuan tua pun menghilang di atas dipan yang retak.
Di Irian
Lelaki tua kehilngan istrinya tanpa kabar berita dari media.
Di Kalimantan, di Sumatera, di Jawa, dan di mana-mana. Di bumi Indonesiaku setiap detik anak-anak kehilangan ibu-bapaknya, setiap menit cucu-cucu kehilangan kakek-neneknya, setiap jam suami-suami kehilangan istrinya, setiap hari istri-istri kehilangan suaminya, setiap bulan, tahun, zaman, dan abad, Indonesia kehilangan separuh rakyatnya. Mereka hilang tenggelam bukan karena senjata penjajah, tapi karena hak, darah, dan tanahnya di makan oleh sesama rakyat-bangsa.
Mereka meregang nyawa tanpa penghargaan.
Nenekku...!
Jika hukum tetap bisu di atas meja hijaunya.
Esok-lusa kau tinggal menunggu palu terketuk.
Terhukum dan terbunuh bersama umur.
Semoga waktu mengetuk pintu hati segala diri.
Aku rindu bersujud di wujudmu yang pilu.
Berikan zikirmu.
Relakan zahirmu.
Peluklah batinmu.
Kakekku sedang menunggu pelukmu di kubur, sejak berabad lalu.
Aku bergetar-kaku di ruang pembaringan-keringat-ibu-pertiwi.
Aku menangis tersedu di sudut garis lurus warna MERAH_PUTIH.
MERAH-PUTIHku
Para penjamah bangsa telah merampas masa tua nenekku.
Jika saja mereka mau, mereka mampu membunuhnya di depan halaman warnamu.
Karena merahmu adalah darahnya, putihmu adalah suci-murni hatinya
Dari takdir kedua nenekku
Aku pun rindu pada nenek-nenekku yang lain
Dan untuk kedua nenekku
Aku mengukur garisMERAH-PUTIHmu!
apen MAKESE
PadamuKuBerharapNegriKu
19 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar