Bawa sadarku terbawa pada huruf-huruf dan angka-angka. Entah kenapa mereka terus ada. Entah bagaimana mereka memasuki nalarku yang dungu. Entahlah! mereka terus hadir memaki kelenaan ku atas apa yang begerak-berjalan-kini. Aku tiada daya menolak memamerkan singgasan huruf dan angka, sebab aku telah terpenjara oleh perangkap yang mereka buatkan untuk jiwa dan rasaku.
Kemarin lalu, aku merelakan tidurku untuk bercengkerama dengan huruf "Alif" hingga "Ya". Lalu kemudian, Aku diajak menyetubuhi huruf "A" sampai "Z" hingga aku tiada lagi resah melepaskan kearifan mereka. Tapi entah bagaimana, ketika angka-angka menghakimiku karena kecemburuan mereka bercumbu denganku. Mereka menghakimiku, agar aku juga dapat memberikan mereka tahta. Jika Tidak!. Jari-jemariku akan terpotong oleh kemurkaan angka-angka.
Aku belum mampu melepaskan jemariku. Sebab aku masih ingin memetakan realitas yang berjalan kini menjadi sebuah ajaran yang meningkatkan kearifan dadaku. Aku belum sanggup menolak semua yang datang di ruang kegelisahanku. Kaena aku masih ingin belajar tentang segala yang ada, agar jiwa ragaku menyelimuti kedewasaan tiada batas.
Aku terpaksa memaknai kembali angka-angka. Tapi maaf!. Bukan karena aku terpaksa. Aku hanya belum terbiasa memberikan segala apa yang aku punya. Bukan juga karena aku takut kehilangan apa yang aku pegang di kedalaman ajaran budaya dan agamaku. Tapi kau, wahai angka! Kau selalu memberikan aku imbalan tanpa aku minta. Kau menghitung. Kau menilai, dan kau pun membuat ukuran segala yang nampak.
Baik lah! Aku akan menuliskan sajak buatmu dengan caraku.
Kau tak perlu memaksa, sebab aku suka terhadap garis-garismu.
Kau tak harus marah pada kealpaan nalarku terhadap lingkaran bulat angka kosongmu.
"Nol/Kosong (0)"
Nokta jiwamu adalah kosong. Tapi kau bagiku adalah kosmos bagi angka-angka yang berbilangan puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan kelipatan dari itu. Kau juga Kosong. Kosong yang melambangkan kenihilan sesuatu. Bisa saja satu makna, warna, harapan, mimpi maupun cita-cita yang selalu di ingini oleh yang mencari sesuatu yang harus ada dan nyata. Kau adalah simbol kebohongan bagi manusia yang kecewa dan kehilangan kepercayaan. Bukan salahmu. Bukan pula kemauanmu. Mungkin sudah menjadi takdirimu di sisi yang lain, kau harus seperti itu. Menanggung kesalahan tingkah laku aku dan kekalahan mereka lainnya.
Tapi kau akan tetap Kosong atau Nol. Sebagian orang mengatakan, bahwa kau hanya terlihat kosong oleh mereka yang sombong. Kekosonganmu disebabkan oleh keterlampauanmu mengisi segala yang ada hingga tiada lagi tempat bagi kau mengekspresikan eksistensimu. Kau berarti penuh, sehingga keterpenuhan isimu menyebabkan kau kosong. Kosong berarti penuh, penuh berarti kosong. Dapat juga aku bilang, kau selalu mengosongkan dirimu bagi nafsu angka-angka yang lain yang ingin menyetubuhimu, jika kau memang kosong, kau pasti akan banyak omong, tapi bagaimana kau akan banyak omong jika ruangmu dipenuhi segala yang meminta atap dan dinding dalam ruang rahimmu yang bundar.
Tong kosong nyaring bunyinya. O, kau hanya metafor bagi kebohongan dan kebodohan akal manusia sebagai mahluk yang hanya di istimewakan karena sejengkal akalnya. Kau hanya simbol. Kau hanya tanda yang tepat untuk mengelak segala kenyataan pemberontakan manusia terhadap kelenaannya pada kewajiban jiwa raganya.
Tetap lah berzikir pada keluguanmu.
Aku tak sanggup lagi merangkai sukmaku untukmu.
Karena kau sendiri menilaiku sebagai mahluk utopis.
Dan aku akan tetap menghargaimu sebagai kosmos yang menusuk kebohongan.
"Satu (1)"
Satuan satwa membawa kerjanya untuk menghadirkan ilustrasi bagi setiap karya sang petapa yang haus penghargaan. Semut dan lebah menjadi contoh bagi sang arsitektur untuk memuaskan nafsu menciptanya. Kau menjadi awal yang berharga bagi siapa saja yang menginginkan penghargaan, walau kau sendiri terkadang melupakan rahim bundar yang melahirkan kau penuh rasa. Di sisi mistik, kau aku anggap Sang Esa. Wujud yang Satu. Wujud yang memberikan tubuh pada angka 2, 3, dan seterusnya. Tapi, itu hanya akal-akalku saja. Sebab kau akan selalu membutuhkan angka nol untuk menjadi sempurna. Sementara Sang Esa tak membutuhkan apa pun untuk memapah segala.
Jadi kau ku ibaratkan Nur. Dan Nol aku ibaratkan semesta yang tercipta karena kau telah mengada. Nol hanya tempat bagi pijakan pertamamu biar ada cerita dan ilustrasi yang masuk akal. Kau seperti bayi yang membutuhkan rahim perempuan untuk menjadi manusia sempurna dalam arti yang luas. Aaah, kau selalu diinginkan, karena kau begitu indah jika dipampang di dinding-dinding rumah kaca.
Tetap lah bersabda bagi pilihan yang membingungkan akal.
Sebab kebenaran hanya lahir dari ekpresi wujudmu dibandingkan dengan kekosongan.
Jadi lah sejarah dari banyak pilihan yang tak bermakna.
"Dua (2)"
Dualisme membentangkan duplikat makna yang bersyarat. Duka sang anak saling membantai karena suasana hasrat yang tak tertahan. Habil melepas nyawa untuk pertama kali karena kegelapan harapan sang Qabil. Malaikat menyatakan diri akan kebenaran pernyataanya bahwa manusia akan saling menghabisi demi menggapai ambisinya. Namun Tuhan tetap lah Sang Maha Tau segala yang tampak dan yang tersembunyi, hingga Ia mengirimkan sayap-sayap yang menerangi penyesalan sang Qabil.
Kau membuat pilihan menjadi tepat. Kau merupakan alat ukur bagi ketepatan kesadaran dan keterlenaan pembacaan yang menginginkan kecepatan dan ketepatan. Tapi kau akan tetap tenggelam jika aku sudah menempatkan pilihan diantara kepenatan yang kau terangkan. Sebab kau adalah hakikat bagi angka satu mengilutrasikan dirinya.
Bukan aku tak mau membunuhmu.
Garis batas selalu tampak jika aku di hadapanmu.
Bukan pula aku yang membuat garis demarkasi di lukisanmu.
Titik-titik vulkadot yang menyedot omong kosongmu.
Aaah, kau akan tetap menjadi angka yang berbudaya.
"Tiga (3)"
Tirai yang terkoyak telah terombang ambing di kedalaman samudera. Di antara sisimu aku binggung mengharapkan cahaya. Tapi kau telah membuatkan aku jalan. Kemana pun sudutmu mengarahkanku, di sana aku temukan satu tanda untuk kembali ke pada angka satu. Walau kau terkadang menjadikanku terlihat tidak dewasa, namun aku tak ingin salah dalam memaknai maksud arahanmu.
Di dalam panahmu aku temukan segala, tapi aku menginginkan sudut-sudutmu tak membunuh siapa saja yang menginginkan arahanmu. Kau ibarat trisula pagar penjaga nikmatNya. Di sisi atasmu ada Tuhanku dengan wahyuNya. Di sisi kananmu ada Rasulku dan sabdanya. Sementara di sisi kirimu kau tempatkan Jibril dan pencatat amal. Tapi di mana kau tempatkan permadi Ifrit?.
Tak ada tempat bagi mereka. Walau mereka selalu mengada dalam pembuluh darahmu, tapi yakinlah bahwa mereka adalah mahluk yang menempati ruang di luar dirimu. Hanya saja, mereka membutuhkan teman dan ruang pemujaan bagi kedurhakaan mereka.
Tergantung bagaimana kau.
Musuhmu adalah dirimu.
Ia membentuk diri dengan nama nafsu, hingga kau terkubur.
"Empat (4)"
Empati adalah ruang untuk mengekpresikan kelelahan jiwa pada pelepah resahmu. Jika saja kau ingat pada pesannya, kau akan melekatkan segala risaumu pada pisau kedukaan saudaramu. Empat sisi arah segala, akan membawamu pada kenyataan bahwa kau tak sendiri memahat kehidupan yang menindih. Didik lah jiwa jejakamu menjadi bayi-bayi yang memenuhi empat arah segala, biar kau dapat menemui satu cahaya di ufuk barat yang membelah dada nestapamu.
"Lima (5)"
Limpahkan segala penatmu pada keraguanmu. Di telaga tak bertepi si Dungu menemukan satu unsur kebenaran yang melepaskan segala dahaganya. Lingkaran cahaya firasatmu tak mampu menerangi seluruh gelap. Maka pandanglah hitam pekatnya melalui cahaya lilin hatimu hingga kau mati. Semesta di dadamu membetuk diri seperti rahim di garis akhir angkaku, tapi cangkang harapanku tak akan pernah melepaskan segala firasatnya pada gantungan yang dibuatkan Tuhanku pada akal budiku yang setitik.
Biarkan setengah bundarnya tetap ada.
Sebelah lain aku sembunyikan di sisi kosong tubuhku.
Bukan aku tak ingin memberimu, biar kau sendiri mencari hingga titik membentuk garis akhir.
"Enam (6)"
Endapkan jiwamu dalam lamunan Muhammad di lorong-lorong goa magfirahNya. Biarkan mihrab sunyi membentangkan kalimat Ilahi dalam pengelanaanmu. Ketika ia tampak di wajamu, petiklah ke enam-enamnya seperti kau sedang memetik buah delima yang merah merayu selera. Lalu lafadzkan satu persatu secara khidmat. Niscaya kau akan tenggelam bersama malam, dan semestapun akan menetap di seluruh ragamu.
Lantunkan SyariatNya.
Rasakan HakikatNya.
Relakan MakrifatNya.
Resahkan RinduNya.
Deklamsikan CintaNya.
Bunuhlah dirimu dalam RuangNya.
"Tujuh (7)"
Tujuh pintu telah dibuat atas anggka dan wujudmu. Entah apa yang ada di balik keagungganmu hingga langit dan bumi memiliki lapisan yang sama. Adakah salah satu pintu yang tersisa? sebab aku ingin membuat satu pintu khusus atas namaku, hingga siapa saja dapat keluar masuk merebahkan lelahnya setelah di siksa.
Tapi aku ingin urungkan niatku.
Sebab sudah jelas bagimu dan untukku.
Biarkan Syafa'at menjadi pintu lain bagi saudaraku yang pernah mengakui Dia.
(Delapan (8)"
Deras hujan menghapus gerimis kecil di bukit barisan para petani. Sawah-Ladang tergenang lumpur. Parit-parit pucat pasi karena sebentar lagi langit akan menurunkan pasir bagi pengemis yang terusir di gerbang manikam raja. Kalimat-kalimat Suhuf tak kuasa menahan nafsu para pengikut. Binatang menjadi punya daya karena kehilangan akal.
Aku jadi ingat Delapan Anasir Nggusu Waru maupun Asthabrata.
Seni mempimpin para tuan tanah dan pekerja yang mengharapkan sesuap kehidupan.
Delapan etika yang di elaborasi dari unsur budaya dan ajaran agama yang benar.
Delapan terlalu banyak bagi sang pemapah tanah dan petani.
Hingga pasir-pasir menutupi segala kulit bumi yang gersang dan resah.
"Sembilan (9)"
Semenjak kau menghilang di balik kain beludru murung yang menjadi tumpuan hidupmu. Kau ku sebut bunga yang kemudian mati bila musim berganti. Aku menjadi seongok tubuh tanpa daya bila ku ucap namamu dalam rinduku. Aku pun mencarimu hinga kemana jejak arah menghempaskanku, tapi kau tetap tak kembali. Aku mengirimkan segala harapku sesibuk helaan nafasku mensubsidi titik kehidupanku. Namun kau tiada pula menghambakan dirimu pada tatapku.
Hingga aku berkuasa kini.
Kain beludru murung telah membunuhmu.
Aku mengumpulkan murungku dalam kain beludru wujudmu.
Dan aku pun mulai membacakan kisah para nabi dan wali sebagai penghambat rasaku.
"Sepuluh (10)"
Seru Sekalian Alam enggan di hambai oleh panas yang pertama di cipta. Sesepuh kehidupan diajarkan tentang nama-nama. Malaikat memapah sujud di kedalaman ketaatannnya pada perintah. Panas api membara melawan tanah. Tapi tanah tetap bersahaja di hadapan pemiliki segala. Hingga sang Adam menyentuh buah peraduan bersama hawa, tapi bukan melawan. Hanya sebuah kesalahan memahami perintah. Adam dan Hawa di berikan jalan baru untuk menemukan kekuatan kata dalam perintah.
Bukan terusir bila keduanya turun ke bumi.
Hanya jalan yang lebih aman bagi kesalahan hasrat.
Bukan berarti surga terancam bila mereka di sana.
Akan tetapi rencana yang memang harus ada.
Karena semesta ada di dalam diri sang Adam dan Hawa.
Manusia mampu menampung semesta beserta isi yang ada padanya.
Sementara semesta tak akan sanggup menampung pertumbuhan manusia.
Maka hari itu pasti akan tiba bila suara puji memujiNya terhenti.
apen MAKESE
KalaBatangKehidupanTinggalSebatang
16 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar