Kau tak mampu menjawab apa-apa
Pada kertas dan alfa yang kau ceraikan dari apa-apa
Hingga luluh-lantahkan laut-murungmu di gurun-pasirku yang terjaga
Maka aku bertanya padamu kembali
“Pernah ia tersiksa? Siksakah siksa?”
“Atau siksakah ia yang tengah tersiksa?”
“Aku bilang, tidak…!”
Sebab tiada yang tersisa dalam cinta. Tak ada siksa juga penyiksaan. Tak ada kalut-murung pada yang berwujud. Air mataku telah menjadi permata. Pada terang siang. Pada gelap malam. Dan segalanya telah kusisipkan pada sejuk dingin khauf-rajaku hingga tetap menjadi api dan air. Membakar ladang. Mengairi sawah. Menyinari gelap. Basahi terang. Merajut sayap. Menyulam rakit-rakit. Maka aku semaikan jalan gurun pasir agar menjadi kebun kalut-murungku sendiri. Sebab aku tak ingin mengadu murungku pada murungmu. Mungkin bagimu panas api dan pasir adalah mega-fatamorgana kelam. Tapi di hadapanku, ia telah menjadi telaga. Menjadi jalan. Menjadi taman. Menjadi kalam. Menjadi alfa. Menjadi garbah. Atau menjadi apa saja agar aku mau memenuhi pulangku.
Di titik garis air dan api
Laut gelombang meniti titian pasir
Membentuk danau kehidupan langit-bumi
O, kini, lautmu bukan lagi lautku
Lautmu, adalah kalut-murungmu sendiri
Semakin kecil dan mengering tanpa pasir dan buih
Sepi sunyi…!
Kian tak terpahami
Kemana perginya pengertian
Bila kau temukan lautku, kapan dan dimana saja. Silahkan! Kau kuras-arungi asin airnya. Dan mataharimu, keringkan tirakat sang Khidir. Dan gelapmu, karamkan permata jalan keselamatan Musa. Jika kau ingin mengubah laut garamku menjadi tawar danaumu. Jangan kau gunakan suhuf-suhuf sebagai suluk. Dan kau subur-tumbuhkan duniamu dengan nisan kubur para pelantun wahyu. Tapi di lautku, aku bebaskan kau untuk ucap-dengarkan murka serigala. Dan teranglah bibir gulita pantai kelammu. Hingga kau pun mampu tutup-temukan keraguanmu sendiri. Meski aku tak lagi peduli pada kering kerontang perahumu. Tapi air dan apiku akan terus menjadi. Mengalir menuruni bukit-bukit. Membakar melewati parit-parit. Jika pada rasa malu. Pada rasa ragu. Pada rasa takut. Kalut murung laut airmu telah membunuh. Aku buatkan alur lautku untukmu. Agar kau lebih mengetahui bahwa kau akan menjadi semakin lebih tua untuk menempuh-teruskan jalanmu hingga ke ujung lautmu sendiri.
Aku bebaskan kau!
Biar kau sudahi waktuku
Agar tenang resah laut airmu
Muram durja luka di dedaunmu
Tak kan buramkan buta matajalanku
Dan kubiarkan menjauh beribu luka lautmu
Aku dan nafasku masih ingin larut
Dalam ruang mesra aniya api dan air yang tersisa
Pada laut janjiku, kau tidak lagi terikat untuk tidak berlaku ingkar
Sebab kau akan semakin menjadi-jadi. Berapi-api menguras asin air laut. Menghabiskan energi dengan tari-menari bersama suling api. Memainkan musik menghabiskan isi. Kau penuhi gersang lautmu sendiri dengan membumi-hanguskan denyut kehidupan tanpa Tuhan. Kau akan semakin terhempas. Terlepas menyanyikan lagu angin yang tidak semestinya kau hakimi sebab retaknya biduk perahumu sendiri. Jika kau lakukan persenggamaan atas nama tirakat. Maka gelap. Maka kelam.
Maka…!
Maka…!
Maka…!
Maka beribu titik durja akan menenggelamkanmu. Lalu kau akan menjadi pekat di atas lautmu sendiri. Menjadi arus. Menjadi deras. Menjadi buncah. Menjadi kabut. Kabut gelap yang akan menguburkan harapan malam-malam. Dan sedikitpun kau tidak akan mampu menyibak tirai gelap para pendayungmu sendiri, yang juga ikut dalam kalut-murung lautmu. Mungkin kau bisa memenjarakan apa saja dalam pukat-hasratmu sendiri, wanitaku. Tapi jangan kau labuh-lupakan pendayungmu. Apa kau lakukan itu demi persekutuan sakralmu dengan kalut-murung? Hingga kau begitu ingin hempaskan segala kehidupan yang tertekuni. Lalu harus bagaimana kehidupan berlaku puaskan hasrat-inginmu?.
Kurang lebih kau terluka
Melukai apa saja dengan tirakat duka
Maka aku bebaskan perih lukamu dari luka
Agar kau bisa…!
Bebas temukan ceria-tawa
Dalam taman, dalam secawan
Meski ia berada di kapal perang yang tak lagi bernama. Dan bila dalam beribu waktu, di tengah perjalanan lautmu sendiri, kau sempat singgahi darat dan elok pantai lautku. Ucapkan pada matahari lautku tentang jerit hatimu. Bisiki ia tentang ikan-ikan yang ingin hisap-rasakan hangat mentari. Katakan jua pada angin tentang harapan ranting-ranting, yang juga ingin menari setiap hari. Bersama putih pasir dari benih-buih hasil persenggamaan pantai dan ombak yang selalu menari setiap kali. Aku relakan kau untuk berkaca pada cermin langit yang ada pada lautku. Hingga pada pagi dan petang, ketika kau kembali bercengkerama pada lautmu sendiri, kau akan saksikan kehampaan ruang kalutmu yang tertimpa angin, air, dan api. Dan kau pun, tak mungkin lagi menghakimi terang matahari yang membawa setatapan jalan kosong dalam mata lautmu sendiri. Di lautmu, tak ada bayang-bayang sesiapapun yang kembali dari lembah ketiadaannya, selain rahim samudera kehinaanmu sendiri.
Pada laut keringmu
Aku saksikan segala habis terhapus
Hingga bejanamu inginkan pasir lautku terkuras
Kala kesahajaan…
Yang belum lama di dapatkan
Aku pasrahkan terbawa kalut resah
Dalam AKU…!
Yang bebaskan KAU..!
Dari segala bisik angin-laut anonimus!
Dan murung…!
Pulang-kembalikan parit airmu
Dari segala panas api gurunku!
To Be Continue…
Apen MAKESE
KalaMalamSepiSendiri
26 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar