Senin, 07 Maret 2011

Aku, Kau dan Janji-Janji; Part LIMA


Kala kau tersadar
Jerat kata kembali hujamkan resah
Karat murka mendustai kebebasan bersyarat

Belati kalam
Dalam barisan alfa
Bagai penanda kelamnya surga

Kau datangkan ia…!
Dengan sayap yang terbakar
Dan prasangka, akulah sumber segala bencana

“Ah, katamu bebaskan aku dari janji-janji? O, sungguh! Suara itu terlantun merdu terucap keluar dari desis lidah ularmu yang bercabang dua. Bagaimana mau bebaskan langkahku? Sementara kau selalu melihat kemanapun aku pergi. Dengan mata lempung. Dengan mataangin. Dengan mataair. Dan dengan mataapi metafisikmu. Kau tajam menatap. Menghantam-menjaga gerak. Hingga sesak aku tiada lagi di jalan yang berarak. Bebaskan aku agar tak tersiksa menunggu kau dan jua waktu, katamu? Ah, lagi-lagi bulshit! Kosa-kata terjamahan absurd. Terdengar bagai desir angin yang menerpa kehampaan dinding bukit barisan garamku yang menyala. Nihilisma yang berbisik sayup, berlalu membentur bibir ranum pantai persetubuhanku dengan laut. Satu kepastian nuranimu adalah probabilitas dari berbagai pengertian sepihak. Tak ada bentuk. Tak ada fungsi. Tak ada isi yang bersimbiosa secara wajar dalam tata letak yang kau sebut bebas dan sejajar. Segalanya kebohongan. Separuh kemunafikan itu telah kau hantar-bebaskan padaku. Membakar habis kelambu-kelam asin airku. Dari gerak siklikal waktu. Aku memang menjadi semakin ragu padamu. Dan ternyata! Diam-diam kau buatkan aku satu jeruji rahasia berupa ruang-waktu penantian yang tersiksa.”

Gadisku! Sudahi rapalan derita jalanmu!
Kau ibarat lampu yang tidak kubutuhkan lagi
Sebab matahari telah terbit kembali diantara embun pagi

Tapi! Kau masih…
Nyanyikan bait-bait sakramen
Yang telah kau titip-khianati dalam ingkarmu!

“Sungguh sangat menjijikan ketika aku teringat akan kata-janji yang terlafaz. Bila tersaji kembali, aku tak hendak ia terlahir. Meski hatiku sangat ingin. Tak mungkin! Bila kuharus kembali berikrar pada janji-janji palsu. Sebab aku bukanlah titik ilusi yang tak memiliki arti. Kini! Kau ibarat bintik-bintik hitam yang terdistorsi oleh zikirmu sendiri. Memang kelam pengertian menghinggapi lautku. Hingga asin air terkuras habis oleh jangkar perahu murungku. Oleh karena itu, aku tak ingin menjadi lembaran kertas kering yang terbuai oleh goresan tinta yang terus mencairkan api. Lelakiku! Aku tak ingin kau bangunkan aku istana dengan rupa ramalan abstrak. Sebab aku tak ingin terkapar dalam retak kaldera tak berpalung, yang telah kau agung-agungkan sejak dahulu.”

Heningku sejenak
Membakar sajak pasir dengan panas api
Kubiarkan murka menjadi setapak jalan air

O, zulaikhaku!
Kau makin berhasrat berdebat tentang kebebasan
Di batas penantian dan janji yang teringkari oleh kebencianmu

“Kau berhala dalam rupa janji, bagiku. Tak ada kebebasan dalam horison yang mengalami kekosongan. Maka kuhabiskan tawar telaga dan asin lautmu. Mungkin aku tak memiliki makna apa-apa di antara kasta semesta ruangmu yang keropos. Dari pena yang telah kau tetapkan. Jika tidak hari ini. Entah kapan lagi aku dapat berlari dari jerat pedang mistikmu yang berupa harakiri. Akan aku ingkari kau-gersang-pasir-panas-air-keterasinganmu! Tak perlu kau ciptakan gita-hazanah-cinta agar kudustai kelukaan hatiku sendiri. Jangan! Jangan mainkan kembali musik penyaliban para pencipta satir yang munafik.”

“Jangan!”
“Jangan!”
“Jangan!”

“Aku tak sanggup lagi memangku kehormatanku dengan koyak kain penutup kepalaku yang terhempas oleh sanggul waktu yang telah aku lepaskan. Walau demikian, aku berterima kasih atas pembebasanmu. Biarkan aku memugar sendiri barisan nisan pantai kelamku agar menjadi taman ceria-tawa. Biarkan aku menyulam senyum-senang kering lautku agar menjadi tirai jalan bagi asin mata airku. Dan biarkan aku tenggelam bersama barisan kain kafan pendayungku di atas altar rapalan banal mantra-murkaku. Tapi aku tak percaya padamu. Dalam resah-pikirku yang bodoh, tak mungkin kau bebas-lepaskan aku tanpa konsekuensi logis, yang mungkin akan sangat terasa sakit, bagiku.”

Zahrahku! Aku masih…
Merajut rakit dan sayap langit
Lamunkan asin laut dan juga parit air

Pasrahkah aku…
Pupus-puaskan kau!?
Ah, murungmu! Masih saja dalam rupa murkamu!

“Aku menjadi hakim, bagimu! Pembebasanmu atasku adalah kebebasan yang menegasikan kebebasan. Segala proposisi dan afirmasi hanya menjadi alat ilustrasi kemerdekaan fiktif. Maka! Sungguh sangat wajar apabila aku memang ingin mengingkari janji-janjimu dalam batas penantian yang tidak berbatas itu. Kau bebaskan aku dalam bentuk kepura-puraan belaka. Dalam mistifikasi. Dalam hirarki. Dalam kearifan diri yang picik dari orang-orang yang sakit hati. Sungguh kau benar, “Banyak yang melemah/mati/kalah bukan disebabkan peperangan, melainkan karena keragu-raguan mereka terhadap waktu yang berlalu”. Tapi! Jika aku terbunuh dalam waktu. Itu karena ulah zikirmu yang bercabang dua seperti lidah ular. Kau bebaskan jua mereka? Bersama kepura-puraan tingkah. Kau pula membunuh keragu-raguan mereka. Jika kau tak menemukakan jalan pulang? Tenanglah! Kita pasti jua kembali, karena aku-kau-mereka satu-saling memiliki.”

Di padang keldera
Aku menikmati langit-bumi
Merasakan danau dan palung laut

Salahkah aku?
Bebaskan kau hari ini
Agar kau tidak ingkar-hakimi mataharimu sendiri

“Estetika! Indah atau tak indah, ucapmu! Ah, kau paling bisa merangkai kata-ucapkan dusta. Datang tiba-tiba atau sendiri-sendiri. Itu hanya barisan kinayah. Aku tak peduli lagi mengapa dan pada apa. Meski kau lelap dan lenyap. Atau pergi dan mati. Tak mengapa bila kau tanyakan kembali atau tidak sama sekali. Atau jadikan itu sebagai nilai tambah bagi keraguanmu padaku. Aku ingkari janjiku. Yakinilah! Aku menghianatimu sejak kau ayunkan langkah untuk pergi. Kini aku adalah pengingkaran itu sendiri. Dan selamanya aku akan selalu mengingkari bayang-jadahmu yang tertanda. Jika kau tak yakin atas ingkarku. Maka yakinilah keragu-raguan yang ada di padangmu sendiri. Jika harus belajar pada pengalaman dan penyesalan. Kau semestinya merasakan sejuk-hangatnya titik air mata penghianatanku yang tertinggal di separuh bahumu, seusai kita saling-peluk-lepaskan ikatan sapa di raga.”

O, sejarah yang berjalan
Di antara kemampuan manusia merapalkan mantra
Mungkin ini tetanda agar aku kembali ke titik permulaan aku datang

Tapi kuyakini…
Bahwa keberpihakan Ilahi menjadi saksi
Atas garis segmentasi hitam-putih kenyataan janji

Terserah kau, Khadijahku!
Bila itu yang kau hadiahkan padaku
Aku tak ingin kau menjadi budak-belia dalam belantara sesat pasirku

“Entahlah! Semoga masih banyak yang mau memasuki ruang penjaramu. Lalu mereka bisa bebas untuk tidak menangis. Bebas untuk tidak meratapi derita batin yang sejati. Dan semoga mereka bisa bebas berbuat apa saja dengan kata-kalimah yang terbatas dari bahasa yang telah kau bebas-batasi. Tapi aku menertawarkan padang gersangmu. Dengan darah. Dengan air mata. Dengan hasrat yang membabi buta. Bukankah segala beban deritaku terangkat dari jemari pasir air-apimu? Kau menenunnya dengan jarum-jebakan rakit. Dalam parit, mungkin bukan hanya aku yang terjatuh. Membangun lingkaran perangkap dusta dari nistamu sendiri. Kau siakan aku yang tertinggal dalam ruang siksa. Bila aku terlahir kembali dalam reinkarnasi. Maka aku ingin menjadi pengingkar sejati, yang terus mengingkari janji-janji yang dijanjikan. Dan aku tak lagi takut pada bentuk derita apapun, sebab ingkarku terpagut dengan aminmu. Maka penderitaan akan selalu ada. Jika ia tak datang menerpa aku. Maka tugasmu yang mendatangkan ia padaku.”

Wanitaku! Mungkin terlalu dini
Untuk kau mengerti bisikan lirih
Pada seberkas tanya, mengapa harus kuakhiri jeritmu

Rintih beribu perih
Retak dedaunmu jejatuhi api
Di bawah bayang-bayang air, kau semakin retak

Gersang dalam rupa rindang laut
Bening danau pun habis bercampur luka
Maka ku simpan dukamu yang terasa sementara

Dalam kalam
Di barisan alfa
Aku tiada apa-apa



To Be Continue…


Apen MAKESE
KalaMalamSepiSendiri
07 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dosa Dalam Doa

malam ini mungkin akan gelap sebab rindang gersang enggan melepaskan senyap gelap ini mungkin kan berahir kelam sebab alfa doa-doa t...