Senin, 21 Februari 2011

Aku, Kau dan Janji-Janji; Part SATU

Bagaimana kau menahan siksa,
Ketika janji-janji teringkari?
Keringkah air matamu,
Atau dendamkah nuranimu?

Taukah kau!
Bagaimana aku mencumbui rasa sakit,
Ketika aku kehilangan harapan di tengah kaldera tiada bebatas
Tersimpankah janji-janji?

Sudah! Sulam jejak kakimu!
Jatuhkan sanggul kepalamu!
Jejak gembala gurun telah menjadi kebun murungku!

Di hadapanku
Dinding-dinding fatamor tengah riang manari
Ibarat nyiur melambai, ia menjadi telaga

Menjadi laut. Menjadi jalan air
Tersiksakah siksa?


"Alaika bis shidqi fa inna ashsidqo yahdi ilal birri…!"

Suara itu membuat aku takut dalam kalutku sendiri. Bagai anak kecil yang meniti jalan sunyi-senyap bukit. Aku berlari, tanyakan arti. Pada siapakah bisik kata terberi? Aku tertawa, sebab tiada kata terjawab untuk sementara waktu. Maka lebih-kurang, aku coba memaknainya sendiri. “Satu kejujuran yang mewajibkan untuk berlaku saling jujur, karena kejujuran adalah jalan untuk menuju pada satu kebenaran yang tertuntun.

“Sebenarnya malu!” Suara itu mengadu
Merdu mengalun bagai musik sang Daud
“Tapi kesalahan harus tetap diperbaiki!” Ia rintihkan bisik

"Hendaklah engkau berlaku jujur, sebab kejujuran akan menuntunmu (lebih dekat) pada kebajikan.." O, ternyata aku terlalu buruk untuk menjadi mufasir. Dan bagaimana bisa aku memenuhi kebutuhan sumur-padang pasir? Jikalau pada kehausan musafir, aku luput membuka wahyu, suhuf-suhuf, kitab-kitab terjemahan kaum salafus-shaleh yang begitu zuhud.

Dan ketika aku menguburkan murungku sendiri. Kau datang tiba-tiba. Ibarat air yang melimpah, kau memberi aku buku-buku sejarah-budaya, catatan-catatan tentang zaman, goresan-goresan pena peradaban, cerita tentang kemajuan raja dan istana. Kau pun datang beserta kisah tentang hukum, dongeng tentang peperangan, hikayat sebuah percintaan, air mata sebuah perjuangan, kedukaan dari sebuah penantian, kelukaan yang diakibatkan oleh perjalanan maupun pengorbanan.

Kau tumpahkan segala
Mewabah menjadi amarah
Seperti air bah pada bahtera sang Nuh
Kau hukum-tenggelamkan aku

“Menahan siksa ketika janji-janji diingkari katamu!? Bagiku, biarkan itu menjadi penambah irama kehidupan yang sepi-sunyi, pada pahit-manis yang aku nanti. Bila kehidupan sedikit tak ternoda, maka kehidupan akan menjadi sangat terasa getir, tak memiliki arti apa-apa, hambar tanpa makna, dan tak akan mengundang tanya secuil apa-apa. Maka kau tanya aku, keringkah air mataku? Air mataku tak akan pernah kering, karena aku tak pernah menangisi janji-janji indah yang telah kau tinggal-ingkari dari penantianku. Kau tanya aku kembali, bagaimana mencumbui rasa sakit!? Ah, aku tertawa mendengar sendu suaramu. Kau terlalu meremehkan aku! Aku bukan pemilik mental manusia inferior, seperti yang kau fikir-bayangkan pada makhluk-makhluk bumi lainnya, sebab aku adalah segala!. Kau tanyakan janji-janji yang masih-sudah tersimpan berlalu dalam waktu!? Janji itu, tak kan mungkin aku lupakan untuk beribu tahun yang akan datang. Kau suruh aku menyulam jejak kakiku!? Terima kasih atas masukanmu, biarku pertimbangkan dengan berbagai alasan yang tepat, dan masuk di akal petapaanmu.”

“Jejak gembala? Murung?”
“Tak usahlah kau murung-durjakan waktu.”
“Dinding-dinding fatamor? Riang menari menjadi telaga, laut!?”
“Aku senang mendengar kata riang menari, lebih baik, dan nampak-terlihat optimis, bagimu.”

“Tersiksakah siksa!?”
“Entahlah…!”
“Apakah siksa pernah menanyakan dirinya sendiri yang tersiksa pada siksa.”


To Be Continue....


Apen MAKESE
KalaMalamSepiSendiri
21 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dosa Dalam Doa

malam ini mungkin akan gelap sebab rindang gersang enggan melepaskan senyap gelap ini mungkin kan berahir kelam sebab alfa doa-doa t...