Aku semakin larut
Pada apa yang aku kagumi
Kau masih saja menemaniku
Dan kau pun semakin suka tertawa rupanya. Dalam tertawa pun kau sempat ucapkan pilu-penuh romansa. Menari dalam cinta yang sungguh sangat menyita raga, tapi akal aktif bercumbu riang, seperti Yusuf memendam hasrat dalam balutan jeruji penuh intrik dari rasa sang perempuan yang dibebani hasrat tak tertahan, Yusuf mungkin menanti kecupan hangat dari unsur yang ada pada zulaekhah. Tapi semoga kau tidak menjustifikasi bahwa Yusuf lah yang memiliki ingin.
Aku pun tertawa atas pertanyaanku sendiri. Karena bagiku, Yusuf pada Zulaikha atau pun Majnun pada Laila, adalah beberapa kisah dari sekian banyak cerita cinta yang menampak pada dunia nyata. Sungguh! Cinta tak pernah memilih obyek maupun subjek untuk disinggahi oleh ruang-irama yang menguburkan debar-debar asmara. Ia datang tiba-tiba, lalu pergi membawa beban luka ataupun duka. Bukan duka-luka ia, tapi suka-duka pemuja yang terluka. Cinta membawa apa yang menjadi miliknya sendiri, yang berusaha dimiliki oleh pemuja rupa. Tapi tak ada kegilaan yang benar-benar gila bagi para pecinta, meski mereka menyematkan rupa buram ataupun terang pelapis cahaya raga. Tak ada beda. hanya satu, yaitu cinta. Aku sedang jatuh cinta pada cinta.
Ah, kau semakin asyik untuk tertawa. “Sungguh luar biasa, kawan”, ucapmu. “Cinta memanglah cinta, rasa yang berputar pada satu waktu, walau terkadang tabirnya selalu hadirkan dualisme dan ambiguitas bagi orang yang hanya mampu meniti pagarnya, Semoga engkau tidak bernasib seperti Kahlil Gibran yang terpasung cintanya oleh tradisi dan jua waktu pada penantian Hafni Nashi Bek diujung pantai iskandariyah!”
Aku lagi-lagi tertawa. Tertawakan apa saja yang memasung akal-pikirku. “Jangan kau berbicara nasib! Nasib tak akan mampu membuat aku menyerah, apalagi kalah dalam menyemaikan sajak pada tapak dan rasa yang ada. Meski ragu kadang menyapa, ku simpan ia di kedalaman palung laut bagi yang mengadu susah-murung-waktu. Tapi baiklah! Aku tengah menyulam sayap-sayap patahnya Gibran yang tak sempat sampai di pantai indah Iskandariyah. Setelah sampai, aku akan mengatakan pada Hafni Nashi Bek, ayah seorang wanita yang aku sungguh-sangat cintai, bahwa aku benar-benar kembali untuk mencintai. Berjalan jauh, melewati pasir gurun dan gelombang laut hanya untuk menemui senyum dalam balutan-laut cinta. Jangan kau serahkan dia pada laku wahyu yang menampakan kepalsuan. Apalagi kau serahkan ia pada harta jua tahta di dalam rupa-ruang-petapaan tanpa abdian. Aku tak ingin cintaku menjauh, sehingga menyembabkan aku roboh-luluhkan perapian dengan kayu dan api. Jangan! Aku tak ingin ia mengenali aku sebagai yang lain, atau dia menemui aku dengan rupa cincin yang menahan siksa aku atau dia."
Kau semakin nyaring tertawa, kawanku!
Entah apa yang kau tertawakan dalam sisa-pulas munajat cinta. Tapi kau selalu bisa bangunkan aku satu jalan. “Cepat dayung perahumu sebelum angin memutarkan arah, karena kalau sudah angin berputar arah, maka layar yang sudah lama kau sulam dapat terurai kembali menjadi hamparan benang-benang kusut yang meninggalkan kau pada kenangan pilu, seperti kau mengenang La Hila yang terhempas oleh angin sepi di bukit-bukit pohon kemiri."
"Selamat berjuang!" Salammu membuat aku takut. Aku memang tengah membayangkan ia seperti La Hila. Mungkin dia menjadi orang yang ke-dua, yang membuat aku ingin menuliskan sajak-puisi atau lirik-nyanyian cinta. Bukan layar yang sedang aku sulam, tapi sayap-sayap patahan dari bidadari langit. Namun apapun itu, jika mampu menghantarkan pada tetujuan. Demi Tuhan, itu tak mengapa. Kalaupun ia menghilang, kemudian menjadi kenangan dalam waktu yang semakin berlalu. Maka ia, akan ku jadikan album kenanganku yang paling terindah yang pernah terlintas dalam goresan-pena-hidupku.
Ah, bisa saja.
“Rajutlah sayapmu, kawan! Dan terbang-hampirilah dia yang galau pada penantian rindu yang tidak kunjung hadir”. Kau masih saja mampu menyapa dalam ruang waktu yang hampir berhenti. Aku tertawa. Kau semakin bisa. “Kapan kita berlayar bersama dalam samudera tak bernama? Jangan takut akan gelap, sayap-sayap cinta akan membantu-temukan kita jalan dan jua cahaya cinta!”
Biarkan sunyi sendiri
Dalam aku yang masih ingin larut…!
Apen MAKESE
KalaMalamMasihTerjalinNyata
20 Februari 2011
*Tulisan ini diangkat/dikembangkan dari dinding puisi dan juga dari beberapa komen kawan-kawan, seperti Jarwo Adi dan Abinz “Ahmad Zakaria” Ncuhi. Terima Kasih (atas jempol dan juga komen yang lain) atas segala daya upaya yang telah terhantar pada dinding puisi kesunyianku sendiri.
Pada apa yang aku kagumi
Kau masih saja menemaniku
Dan kau pun semakin suka tertawa rupanya. Dalam tertawa pun kau sempat ucapkan pilu-penuh romansa. Menari dalam cinta yang sungguh sangat menyita raga, tapi akal aktif bercumbu riang, seperti Yusuf memendam hasrat dalam balutan jeruji penuh intrik dari rasa sang perempuan yang dibebani hasrat tak tertahan, Yusuf mungkin menanti kecupan hangat dari unsur yang ada pada zulaekhah. Tapi semoga kau tidak menjustifikasi bahwa Yusuf lah yang memiliki ingin.
Aku pun tertawa atas pertanyaanku sendiri. Karena bagiku, Yusuf pada Zulaikha atau pun Majnun pada Laila, adalah beberapa kisah dari sekian banyak cerita cinta yang menampak pada dunia nyata. Sungguh! Cinta tak pernah memilih obyek maupun subjek untuk disinggahi oleh ruang-irama yang menguburkan debar-debar asmara. Ia datang tiba-tiba, lalu pergi membawa beban luka ataupun duka. Bukan duka-luka ia, tapi suka-duka pemuja yang terluka. Cinta membawa apa yang menjadi miliknya sendiri, yang berusaha dimiliki oleh pemuja rupa. Tapi tak ada kegilaan yang benar-benar gila bagi para pecinta, meski mereka menyematkan rupa buram ataupun terang pelapis cahaya raga. Tak ada beda. hanya satu, yaitu cinta. Aku sedang jatuh cinta pada cinta.
Ah, kau semakin asyik untuk tertawa. “Sungguh luar biasa, kawan”, ucapmu. “Cinta memanglah cinta, rasa yang berputar pada satu waktu, walau terkadang tabirnya selalu hadirkan dualisme dan ambiguitas bagi orang yang hanya mampu meniti pagarnya, Semoga engkau tidak bernasib seperti Kahlil Gibran yang terpasung cintanya oleh tradisi dan jua waktu pada penantian Hafni Nashi Bek diujung pantai iskandariyah!”
Aku lagi-lagi tertawa. Tertawakan apa saja yang memasung akal-pikirku. “Jangan kau berbicara nasib! Nasib tak akan mampu membuat aku menyerah, apalagi kalah dalam menyemaikan sajak pada tapak dan rasa yang ada. Meski ragu kadang menyapa, ku simpan ia di kedalaman palung laut bagi yang mengadu susah-murung-waktu. Tapi baiklah! Aku tengah menyulam sayap-sayap patahnya Gibran yang tak sempat sampai di pantai indah Iskandariyah. Setelah sampai, aku akan mengatakan pada Hafni Nashi Bek, ayah seorang wanita yang aku sungguh-sangat cintai, bahwa aku benar-benar kembali untuk mencintai. Berjalan jauh, melewati pasir gurun dan gelombang laut hanya untuk menemui senyum dalam balutan-laut cinta. Jangan kau serahkan dia pada laku wahyu yang menampakan kepalsuan. Apalagi kau serahkan ia pada harta jua tahta di dalam rupa-ruang-petapaan tanpa abdian. Aku tak ingin cintaku menjauh, sehingga menyembabkan aku roboh-luluhkan perapian dengan kayu dan api. Jangan! Aku tak ingin ia mengenali aku sebagai yang lain, atau dia menemui aku dengan rupa cincin yang menahan siksa aku atau dia."
Kau semakin nyaring tertawa, kawanku!
Entah apa yang kau tertawakan dalam sisa-pulas munajat cinta. Tapi kau selalu bisa bangunkan aku satu jalan. “Cepat dayung perahumu sebelum angin memutarkan arah, karena kalau sudah angin berputar arah, maka layar yang sudah lama kau sulam dapat terurai kembali menjadi hamparan benang-benang kusut yang meninggalkan kau pada kenangan pilu, seperti kau mengenang La Hila yang terhempas oleh angin sepi di bukit-bukit pohon kemiri."
"Selamat berjuang!" Salammu membuat aku takut. Aku memang tengah membayangkan ia seperti La Hila. Mungkin dia menjadi orang yang ke-dua, yang membuat aku ingin menuliskan sajak-puisi atau lirik-nyanyian cinta. Bukan layar yang sedang aku sulam, tapi sayap-sayap patahan dari bidadari langit. Namun apapun itu, jika mampu menghantarkan pada tetujuan. Demi Tuhan, itu tak mengapa. Kalaupun ia menghilang, kemudian menjadi kenangan dalam waktu yang semakin berlalu. Maka ia, akan ku jadikan album kenanganku yang paling terindah yang pernah terlintas dalam goresan-pena-hidupku.
Ah, bisa saja.
“Rajutlah sayapmu, kawan! Dan terbang-hampirilah dia yang galau pada penantian rindu yang tidak kunjung hadir”. Kau masih saja mampu menyapa dalam ruang waktu yang hampir berhenti. Aku tertawa. Kau semakin bisa. “Kapan kita berlayar bersama dalam samudera tak bernama? Jangan takut akan gelap, sayap-sayap cinta akan membantu-temukan kita jalan dan jua cahaya cinta!”
Biarkan sunyi sendiri
Dalam aku yang masih ingin larut…!
Apen MAKESE
KalaMalamMasihTerjalinNyata
20 Februari 2011
*Tulisan ini diangkat/dikembangkan dari dinding puisi dan juga dari beberapa komen kawan-kawan, seperti Jarwo Adi dan Abinz “Ahmad Zakaria” Ncuhi. Terima Kasih (atas jempol dan juga komen yang lain) atas segala daya upaya yang telah terhantar pada dinding puisi kesunyianku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar